Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SELONG DALAM MEMUTUSKAN PERKARA WALI ADHAL KARENA FAKTOR ADAT (Studi Atas Putusan No.1104/Pdt.P/2022/PA.Sel) Imron Hadi; Achmad Hasan alfarisi
Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram Vol. 16 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/alihkam.v16i1.10083

Abstract

Keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan syarat sahnya pernikahan itu sendiri. Namun tidak jarang wali nikah menjadi kendala dalam pernikahan karena wali nikah yang utama enggan menjadi wali nikah dengan berbagai alasan, baik syar’i maupun non syar’i. Wali yang menolak menikahkan disebut adhal (enggan). Mempelai wanita berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk mengangkat wali adhal. Hal di atas memunculkan masalah penelitian ini. Pertama, Bagaimanakah prosedur penanganan perkara wali adhal yang dilatari faktor adat di Pengadilan Agama Selong? Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara wali adhal karena faktor adat di Pengadilan Agama Selong? Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Dimana sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primernya dari pihak Hakim, dan Staff Pengadilan Agama sedangkan sekunder dari buku-buku, al-Quran, al-Hadist, skripsi, tesis dan perundang-undangan.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata cara prosedur penanganan petugas adhal di Pengadilan Agama Kelas 1B Selong sudah sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang dituangkan dalam HIR yaitu.Pertama, pihak harus mendatangi meja Informasi dan Pengaduan diri untuk mengetahui persyaratan permohonan wali adhal. Kedua, ke meja pendaftaran perkara untuk mendaftarkan perkara secara langsung atau melalui online. Ketiga meja pembayaran dengan menyerahkan slip pembayaran dari bank. Keempat, ke meja Penyerahan Produk Pengadilan . Adapun Pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Selong, hakim dalam pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta di dalam persidangan, berdasarkan sisi kemaslahatan dikarenakan faktor adat dan menurut Hakim alasan wali tidak dibenarkan.
Pendidikan Keluarga dalam Islam: Strategi dan Implementasinya dalam Kehidupan Modern Achmad Hasan Alfarisi; Zainal
Jurnal Pustaka Cendekia Hukum dan Ilmu Sosial Vol. 2 No. 3 (2024): Jurnal Pustaka Cendekia Hukum dan Ilmu Sosial Volume 2 Nomor 3 October 2024 - J
Publisher : PT PUSTAKA CENDEKIA GROUP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70292/pchukumsosial.v2i3.74

Abstract

The marriage age contained in Law No. 16 of 2019 as an amendment to Law No. 1 of 1974 concerning Marriage has provided enormous benefits, where initially 16 years for women and 19 years for men has changed to 19 years for men. boy and 16 year old girl. This should be appreciated because the struggle to revise Law No. 1 of 1974 has been approved by the Constitutional Court. The age requirement set by the Constitutional Court is 19 years for men who are considered to have reached maturity in their attitudes, are capable of acting, and are responsible for their actions. Meanwhile, 19 year old women are considered mature and capable of running a household life. By using library research, there are three results of this research. First, Islamic law does not stipulate a minimum age for prospective brides and grooms who will carry out marriage. The foqoha' have different opinions in determining the age of maturity of a person in carrying out a marriage, but have the same goal, namely upholding the goals of Islamic law. Second, psychologists are of the opinion that the age of maturity (adolescence) is appropriate for carrying out marriage, namely someone aged 21 years and so on. Third, as a result of premature marriage, legal problems, biological problems, psychological problems, social problems and deviant sexual behavior problems will arise.
INTERFAITH  MARRIAGE THE VIWES OF ISLAMIC SCHOLARS AND NATIONAL LAW Achmad Hasan Alfarisi; Moh Rokib
MAHAD ALY JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES Vol 3 No 2 (2024): Ma had Aly Journal of Islamic Studies
Publisher : AS-SYARI'AH INSTITUTE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63398/rzr7t357

Abstract

The prohibition and the views of scholars interfaith marriage in Indonesia is further strengthened by the Constitutional Court Decision Number 24/PUU-XX/2022 and the issuance of the Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 which has very broad implications. Not only does it affect marriage practices, but it also has a significant impact on the marriage registration system. Interfaith marriage in Indonesia also presents a number of complex legal problems for children born from such marriages. Children in these marriages often do not receive adequate legal protection because of the marriage so that they only have a civil relationship with their mother. In the legal context, children often face uncertainty regarding their legal status and legitimacy, because interfaith marriages in Indonesia are not recognized by the state. In terms of custody, if a divorce occurs, several problems arise, including to whom custody will be given. Regarding this problem, policy reform is expected because there is an urgent need for legal regulations to protect the rights of children born from interfaith marriages and provide legal justice for these children.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SELONG DALAM MEMUTUSKAN PERKARA WALI ADHAL KARENA FAKTOR ADAT (Studi Atas Putusan No.1104/Pdt.P/2022/PA.Sel) Imron Hadi; Achmad Hasan alfarisi
Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram Vol. 16 No. 1 (2024): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/alihkam.v16i1.10083

Abstract

Keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan syarat sahnya pernikahan itu sendiri. Namun tidak jarang wali nikah menjadi kendala dalam pernikahan karena wali nikah yang utama enggan menjadi wali nikah dengan berbagai alasan, baik syar’i maupun non syar’i. Wali yang menolak menikahkan disebut adhal (enggan). Mempelai wanita berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk mengangkat wali adhal. Hal di atas memunculkan masalah penelitian ini. Pertama, Bagaimanakah prosedur penanganan perkara wali adhal yang dilatari faktor adat di Pengadilan Agama Selong? Kedua, Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara wali adhal karena faktor adat di Pengadilan Agama Selong? Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Dimana sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primernya dari pihak Hakim, dan Staff Pengadilan Agama sedangkan sekunder dari buku-buku, al-Quran, al-Hadist, skripsi, tesis dan perundang-undangan.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata cara prosedur penanganan petugas adhal di Pengadilan Agama Kelas 1B Selong sudah sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang dituangkan dalam HIR yaitu.Pertama, pihak harus mendatangi meja Informasi dan Pengaduan diri untuk mengetahui persyaratan permohonan wali adhal. Kedua, ke meja pendaftaran perkara untuk mendaftarkan perkara secara langsung atau melalui online. Ketiga meja pembayaran dengan menyerahkan slip pembayaran dari bank. Keempat, ke meja Penyerahan Produk Pengadilan . Adapun Pertimbangan hakim dalam penetapan wali adhal di Pengadilan Agama Selong, hakim dalam pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta di dalam persidangan, berdasarkan sisi kemaslahatan dikarenakan faktor adat dan menurut Hakim alasan wali tidak dibenarkan.