Ronal Arulangi
Sekolah Tinggi Teologi Mamasa

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Evolusi Biologis dan Ancaman Kepunahan Manusia: Mempertemukan George L. Murphy dengan Film-Trilogi Planet of The Apes tentang Isu-Isu Kosmologi, Evolusi, dan Bioteknologi Arulangi, Ronald
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 5 No 1 (2020): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2020.51.403

Abstract

AbstractThis article discusses George L. Murphy’s argument that the development of science and technology in the early 21st Century challenges the relevance of core religious theories including theology of nature, theidea of the loving God, and humanitarian ethics. He proposes a theology of the Cross of Jesus Christ as a lens for responding to that challenge. Here Murphy’s theological perspective is put in dialogue with a perspective that departs from the trilogy films: “Rise of the Planet of the Apes”, “Dawn of the Planet of the Apes”, and “War for the Planet of Apes.” Employing Revised Correlational method, this article suggests a more optimistictheological reflection concerning cosmology, evolution, biotechnology, the future of humankind, and harmony. AbstrakArtikel ini membahas argumen George L. Murphy yang menilai perkembangan sains dan teknologi di awal abad ke-21 menggugat relevansi dari teori-teori keagamaan yang inti, termasuk teologi tentang alam, gagasan tentang Tuhan yang pengasih, dan etika humanitarian. Murphy mengusulkan persepektif teologi Salib Yesus Kristus sebagai lensa untuk merespon gugatan tersebut. Dalam artikel ini, pandangan Murphy didialogkandengan pandangan yang ditarik dari trilogy film “Rise of the Planet of the Apes”, “Dawn of the Planet of the Apes”, dan “War for the Planet of Apes”. Menggunakan metode Korelasional yang Diperbarui, studi ini menghasilkan refleksi etis-teologis yang optimisik tentang kosmologi, evolusi, bioteknologi, masa depanmanusia, dan harmoni.
Makna Mantunu Tedong dalam Upacara Kematian di Kalangan Masyarakat Mamasa Ronald Arulangi; Barbalina Bulawan
Jurnal Loko Kada Vol 2 No 02 (2022): LOKO KADA: JURNAL TEOLOGI KONTEKSTUAL DAN OIKUMENIS
Publisher : STT Mamasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (889.115 KB)

Abstract

Mantunu Tedong dalam masyarakat Mamasa merupakan warisan budaya yang terus bertahan hingga saat ini, tradisi ini dilakukan dengan cara mengorbankan atau memotong hewan pada upacara kematian (rambu solo’). Selain sebagai sebuah tradisi, keberadaan warisan budaya ini juga mempunyai tujuan penting yaitu untuk mempererat relasi atau hubungan di dalam keluarga besar maupun masyarakat secara luas. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantunu tedong merupakan bentuk penghormatan, kasih sayang, ucapan terima kasih terhadap keluarga atau orang terkasih yang telah mendahului kita (meninggal dunia). Adapun jumlah hewan yang dikurbankan dalam upacara tersebut, tergantung tingkat kemampuan keluarga. Fungsi dalam mantunu tedong pada masa lalu ialah dipercaya sebagai bekal kubur atau “kendaran” arwah menuju alam baka yang disebut Puya (Tana Toraja) atau Pullondong (Mamasa) dalam kepercayaan Aluk Toyolo. Ketika kekristenan datang, pelaksanaan ritual ini di kalangan Kristen tidak lagi menekankan pada hewan yang dikurbankan. Jika kerbau dipotong, ada upaya memaknainya sebagai sebuah kurban syukur dan persembahan kepada Tuhan atas keselamatan melalui iman kepada Yesus Kristus. Hewan yang dikurbankan dikonsumsi bersama hadirin dan keluarga atau kerabat yang turut hadir membagi duka, dan mungkin juga sebagai tanda persekutuan mereka dengan orang yang telah meninggal tersebut.
Meretas Jalan Pembebasan: Hermeneutik Silang Budaya antara Cerita Rakyat Perempuan-Perempuan Pelarian dan Ratu Wasti Ressa, Yosia Polando; Tumbelaka-van Munster, Cindy Cecilia; Arulangi, Ronald
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 9, No 1 (2024): Oktober 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v9i1.1392

Abstract

Abstract. The topic discussed in this article is the issue of gender justice related to sex discrimination and violence in a patriarchal society, where women lose their inspiring voice. Christian women can look for values in the Bible, but sometimes they only find that women's voices that are very weak because of patriarchal gender bias. They can trace their path of searching for spiritual riches in their oral traditions, namely folklore. Based on this background, this article offers a cross-cultural reading of the Bible between the authority of values originating from folklore and other local wisdom, and the authority of the Bible as the basis for church teaching. The cultural context of Mamasa and the stories of “Runaway Women” will be in dialogue with the story of Queen Vashti in the book of Esther. As the result, women's struggle in seeking gender justice can be achieved if relationships and networks of empowering power are built with other women around them.Abstrak. Topik yang didiskusikan dalam tulisan ini adalah seputar persoalan keadilan gender terkait diskriminasi seks dan kekerasan dalam masyarakat yang patriarkhal, di mana perempuan kehilangan suara inspirasinya. Para perempuan Kristen dapat saja mencari-cari pijakan nilai  dalam Akitab, namun terkadang hanya menemukan kenyataan bahwa suara-suara perempuan di sana sangat lemah karena bias gender yang patriarkhal. Mereka dapat menyusuri jalan pencarian mereka dalam kekayaan spiritual dalam tradisi lisan mereka, yaitu cerita rakyat. Dengan latar belakang tersebut, tulisan ini menawarkan pembacaan Alkitab silang budaya antara otoritas nilai yang bersumber dari cerita rakyat dan kearifan lokal lainnya, dan otoritas Alkitab sebagai dasar pengajaran gereja. Konteks kultural Mamasa dan cerita “Perempuan-perempuan Pelarian” akan didialogkan dengan kisah Ratu Wasti dalam kitab Ester. Hasilnya, perjuangan perempuan dalam mengusahakan keadilan gender apabila terbangun relasi dan jejaring kekuatan pemberdaya dengan perempuan lain di sekitarnya.
Tidak ada kutuk pada makanan: Dialektika 1 Samuel 14:24-46 dan tradisi kappunan dalam konteks kultural Mamasa Ressa, Yosia Polando; Arulangi, Ronald
KURIOS Vol. 10 No. 1: April 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v10i1.812

Abstract

Culture is one factor that shapes the characteristics of the Christian faith in a region. However, not all cultural elements can be compromised with the Christian faith. There is always an effort to create a dialogue between tradition and the Christian faith so that tradition can enrich the appreciation of the Christian faith in the local context. This paper offers a contextual dialogical approach between the kappunan tradition and the text of 1 Samuel 14:24-46. The method used is the cross-textual reading hermeneutic or cross-cultural method. As a result, this research shows that the kappunan tradition should not be based on the belief that food brings curses, but rather that food is a blessing for those who receive and are grateful for it, and will not even bring disaster to those who reject it. Apart from that, the kappunan tradition cannot be a means of judgment but rather a reminder that accepting food from other people is a form of love and appreciation for the hospitality of different people. AbstrakBudaya merupakan salah satu faktor yang membentuk karakteristik iman Kristen di sebuah wilayah. Namun, tidak semua unsur budaya dapat begitu saja dikompromikan dengan iman Kristen. Selalu ada upaya untuk mendialogkan tradisi dan iman Kristen agar tradisi dapat memperkaya penghayatan iman Kristen dalam konteks lokal. Tulisan ini menawarkan pendekatan dialogis kontekstual antara tradisi kappunan dengan teks 1 Samuel 14:24-46. Metode yang digunakan adalah metode hermeneutik cross-textual reading atau silang budaya. Hasilnya, penelitian ini menunjukkan tradisi kappunan seharusnya tidak didasarkan pada keyakinan bahwa makanan mendatangkan kutuk, melainkan makanan adalah berkat bagi yang menerima dan mensyukurinya, bahkan tidak akan mendatangkan musibah bagi yang menolaknya. Selain itu, tradisi kappunan tidak dapat menjadi alat penghakiman, melainkan sebagai pengingat bahwa menerima makanan dari orang lain merupakan wujud kasih dan penghargaan atas keramahtamahan dari orang lain.