AbstrakAhmad Yani (1922-1965) dikenal juga dengan Yani, adalah Komandan Tentara Nasional Indonesia yang dibentuk menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL) pada tahun 1940 dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) pada tahun 1943. Yani mendaftar di PETA sebagai Juru Bahasa (dalam Bahasa jepang disebut Cuyaku), namun karena memiliki bakat strategi militer dan kepemimpinan, Jepang mengusulkan dia untuk menjadi seorang tentara militer penuh dengan mengikuti Pendidikan militer Heiho di Magelang dan Pendidikan Militer Syodanco di Bogor. Pada tahun 1945, Yani bergabung dengan tentara Republik Indonesia dengan membentuk battalion (battalion 4 Resimen XIV Magelang) untuk melawan penjajahan negara Inggris di Magelang. Karena prestasi yang sangat bagus dengan bakat stategi kepemimpinan yang baik, pada tahun 1948, Ahmad Yani dipromosikan menjadi Letnan Kolonel dan memimpin Brigade Diponegoro membawahi Batalyon Suryosumpeno, Batalyon Daryatmo dan Batalyon Panuju. Puncak karir Yani adalah pada tahun 1963-1965 sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Jenderal. Pada tahun 1965 terjadi konflik ideologi politik yang menjadikan terjadinya gesekan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno antara Istana Presiden dengan Angkatan Darat Indonesia. Ahmad Yani dituduh mencampuri kebijakan Presiden Soekarno. Dimana pada akhirnya Yani ditembak dan dibuang ke dalam sumur air di Lubang Buaya Jakarta. Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 oleh PKI (G30S/PKI).Kata Kunci: Strategi Militer, PETA, Revolusi, Pertahanan, Kepemimpinan Strategis AbstractAhmad Yani (1922-1965), also known as Yani, was the Commander of the Indonesian National Army which was formed into the Dutch East Indies army (KNIL) in 1940 and joined PETA (Defenders of the Fatherland) in 1943. Yani enrolled in PETA as an Interpreter (in Japanese it is called Cuyaku), but because he had a talent for military strategy and leadership, the Japanese proposed him to become a full-fledged military soldier by attending Heiho military education in Magelang and Syodanco Military Education in Bogor. In 1945, Yani joined the army of the Republic of Indonesia by forming a battalion (battalion 4 regiment XIV Magelang) to resist the British colonization of Magelang. Due to his excellent achievements with good leadership strategy talents, in 1948, Ahmad Yani was promoted to Lieutenant Colonel and led the Diponegoro Brigade in charge of the Suryosumpeno Battalion, Daryatmo Battalion and Panuju Battalion. The highlight of Yani's career was in 1963-1965 as Chief of Army Staff with the rank of Lieutenant General. In 1965 there was a conflict of political ideologies that caused friction during the reign of President Soekarno between the Presidential Palace and the Indonesian Army. Ahmad Yani was accused of interfering in President Sukarno's policies. In the end, Yani was shot and thrown into a water well in Lubang Buaya Jakarta. This event was known as the September 30, 1965 Movement by the PKI (G30S/PKI). Keywords: Military Strategy, PETA, Revolution, Defense, Strategic Leadership