Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

AMBIVALENSI BIROKRAT HINDIA BELANDA: STUDI KASUS VISI HASAN MUSTAPA AKHIR ABAD XIX Razy, Mohammad Refi Omar Ar; Munigar, Muhammad Miqdad Rojab; Ma'mur, Tarunasena
Metahumaniora Vol 14, No 2 (2024): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2024
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v14i2.56562

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan transisi politik di Kesultanan Aceh pada akhir abad XIX melalui sudut pandang Hasan Mustapa. Meskipun banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi Hindia Belanda dalam menaklukkan Aceh, namun masih sedikit penelitian yang mengkaji kondisi-kondisi tersebut dari sudut pandang pegawai negeri setempat. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Melalui pembacaan catatan harian Hasan Mustapa, kami mencoba mengelaborasi visi Hasan dalam fase masa transisi dan pengintegrasian Aceh ke dalam wilayah Hindia Belanda. Hasan Mustapa, seorang pemuka agama dari Garut yang terkenal di Makkah karena murid-muridnya yang cendekia, diangkat sebagai Penghulu (1893–1895) di Kutaraja, Aceh, atas rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Ambivalensi Hasan dalam memaknai masa transisi dan integrasi Aceh yang kompleks mencerminkan kewajiban ganda untuk memenuhi tugas birokrasi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda sekaligus bersimpati pada perjuangan rakyat Aceh sebagai sesama Muslim. Selain itu, Sultan Muhammad Daud Syah muncul sebagai tokoh penting dalam perjuangan rakyat Aceh, yang melanjutkan perlawanan mereka dalam masa transisi dan integrasi Aceh. Meskipun banyak pemimpin dan pejabat tinggi ditinggalkan selama perang, perlawanan rakyat Aceh yang terus berlanjut menjadi tantangan yang signifikan bagi pemerintah kolonial.
Budaya Carok Dalam Perspektif Lanskap Alam Pulau Madura: Sebuah Pendekatan Ekologi Sejarah Razy, Mohammad Refi Omar Ar; Faruk, Umar
Jurnal Adat dan Budaya Indonesia Vol. 6 No. 2 (2024)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jabi.v6i2.75810

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lanskap alam pulau Madura yang menjadi latar belakang lahirnya budaya Carok. Carok adalah budaya di Madura yang melibatkan pembunuhan satu sama lain dengan menggunakan senjata tajam, dan dipandang sebagai cara untuk menegakkan kehormatan dan harga diri. Penelitian-penelitian sebelumnya melihat carok sebagai manifestasi dari kekejaman dalam masyarakat Madura yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi sosial-ekonomi, agama, dan pendidikan. Namun, penelitian ini berargumen bahwa budaya carok sangat dipengaruhi oleh lanskap alam Madura yang gersang. Minimnya sumber daya alam di pulau ini telah menyebabkan kesulitan hidup yang pada gilirannya memunculkan budaya yang keras. Untuk mendukung argumen ini, kami menganalisis mengenai kondisi lanskap alam di pulau Madura, signifikansi carok sebagai budaya Madura, dan perkembangan tradisi carok. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan alam yang menantang memainkan peran penting dalam membentuk budaya carok di Madura.
RECLAIMING HERITAGE UNDER EMPIRE: THE FOUNDING OF SONOBUDOYO MUSEUM AS A SITE OF CULTURAL NEGOTIATION AND SYMBOLIC DECOLONIZATION Fahmi, Rezza Fauzi Muhammad; Farid, Mahmud; Razy, Mohammad Refi Omar Ar; Assondani, Muhammad Mufti Najmul Umam
The Indonesian Journal of Social Studies Vol 8 No 1 (2025): July
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article examines the founding of the Sonobudoyo Museum in 1935 as a form of indigenous cultural articulation within a space still governed by colonial power. Using historical methods and a postcolonial theoretical framework, the study draws upon primary sources from Djåwå journal archives and secondary literature on colonial museology, cultural nationalism, and tropical architecture. The findings indicate that while conceived within colonial frameworks, the museum served as a site of symbolic negotiation that enabled expressions of local cultural agency through traditional architectural forms, indigenous curatorial practices, and the active involvement of local rulers. The museum not only inherited the failures of a previous 1885 museum project but also served as a symbolic corrective. As such, Sonobudoyo represents a “third space” where cultural identity was hybridized and rearticulated at the intersection of colonial structures and local emancipatory aspirations.