Riset ini merupakan studi kebijakan untuk menelisik peran pemerintah terhadap kerentanan kekerasan seksual di ranah digital. Tingginya penggunaaan internet oleh anak terutama sejak masa pandemi Covid-19 menciptakan sebuah fenomena kejahatan baru bernama cyber child grooming, yakni sebuah fase pendekatan secara emosional dengan seorang anak melalui internet. Kota Semarang yang memeroleh predikat kota tertinggi untuk kekerasan seksual anak di Jawa Tengah menjadi lokus riset ini. Dalam menganalisis kebijakan kasus cyber child grooming di Kota Semarang, digunakan metode kualitatif untuk mendapatkan data secara komprehensif melalui reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang didapat melalui wawancara mendalam semi terstruktur dengan Pemerintah Kota Semarang dan LSM. Riset ini menemukan bahwa Pemerintah Kota Semarang sampai saat ini belum memiliki kebijakan khusus mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik. Penanganan kekerasan seksual berbasis elektronik hanya berlandaskan pada UU Pornografi, UU TPKS, dan UU ITE. Hal ini berdampak pada proses penanganan cyber child grooming yang tidak maksimal, sebab kekerasan seksual berbasis elektronik hanya dapat ditangani apabila korban divisum dan konten seksual telah disebarkan. Hal ini menjadi tidak relevan ketika cyber child grooming merupakan proses awal dari kekerasan seksual yang memengaruhi anak secara psikologis. Upaya Pemerintah Kota Semarang melalui sosialisasi dan penyuluhan belum mampu menjangkau substansi masalah karena belum disertai kebijakan yang bisa melindungi anak secara hukum serta memberikan efek jera bagi pelaku.