ABSTRAK Pelaksanaan pengawasan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Dewan Etik dan MKMK untuk menegakkan pelanggaran kode etik dan menjaga marwah serta keluruhan martabat Hakim Konstitusi. Keberadaan Dewan Etik dalam keadaan status quo seakan mati suri karena disatu sisi secara yuridis Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa dengan hadirnya UU No. 7 tahun 2020 menandai berakhirnya eksistensi Dewan Etik. Namun di sisi lain PMK No. 2 tahun 2014 sebagai pedoman pelaksanaan pengawasan Dewan Etik belum dicabut melalui PMK baru. Sehingga mekanisme pengawasan kode etik Hakim Konstitusi mengalami kekosongan jabatan dan tidak dapat berjalan secara efektif. Penelitian ini berusaha melihat bagaimana pengawasan Dewan Etik dan MKMK dari segi tataran historis juga praktik dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kemudian melakukan perbandingan dengan negara lain, mengkaji problematika implementasi pengawasan Dewan Etik dan MKMK, serta bagaimana mekanisme pengawasan yang lebih efektif untuk menegakkan kode etik Hakim Konstitusi. Dalam rangka melakukan analisis tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan teknis analisis deskriptif-kualitatif. Terdapat beberapa temuan, antara lain ketidakefektifan penanganan perkara etik karena kewenangan Dewan Etik yang terbatas dan MKMK yang bersifat ad hoc. Pembentukan Dewan Etik melalui PMK berimplikasi berpotensi ditunggangi conflict of interest, dan pengawasan oleh Hakim Konstusi bersifat pasif karena Dewan Etik hanya dapat memeriksa dugaan pelanggaran kode etik berdasarkan laporan masyarakat. Sehingga Penulis merumuskan adanya reformulasi normatif dengan mengembalikan peranan KY sebagai pengawas eksternal MK dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim konstitusi yang efektif.