Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Merancang Konstitusionalisme dalam Amandemen Penguatan DPD RI Muhammad RM Fayasy Failaq; Faraz Almira Arelia
Sanskara Hukum dan HAM Vol. 1 No. 02 (2022): Sanskara Hukum dan HAM (SHH)
Publisher : Eastasouth Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (487.905 KB) | DOI: 10.58812/shh.v1i02.57

Abstract

Indonesia menganut sistem parlemen dua kamar (bicameralism) yakni keberadaan DPR dan DPD. Akan tetapi pada tataran prakteknya kewenangan DPD telah “dikerdilkan” oleh negara sedangkan kewenangan DPR terlalu superior. Kelemahan kewenangan DPD dapat dilihat melalui pasal 22D UUD NRI 1945. Kewenangan DPD lemah baik itu dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, hingga pada fungsi pengisian jabatan negara. Lemahnya kewenangan DPD ketimbang DPR merupakan hal yang tidak lazim di negara bicameral. Penelitian ini akan membahas dari sisi konstitusionalisme atau nilai dasar yang berupa pembatasan kekuasaan. Selanjutnya akan berfokus pada ide amandemen yang sarat konstitusionalisme serta solusi amandemen untuk mewujudkan konstitusionalisme tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, metode yang akan digunakan adalah deskriptif-analitis dengan jenis penelitian kepustakaan. Data-data dan bahan hukum yang didapat selanjutnya diolah secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini, konstitusionalisme sudah ada sebagai ide negara hukum indonesia semenjak kemerdekaan. Hanya saja saat itu, wujud konstitusionalisme masih tipis (thin). Konstitusionalisme di Indonesia dapat diwujudkan dengan sistem check and balances yang baik. Sehingga langkah untuk mewujudkan konstitusionalisme dengan amandemen yang sarat konstitusionalisme dengan penguatan DPD. DPD harus diperkuat pada fungsi-fungsi antara lain fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta fungsi pengisian pejabat negara agar terwujudnya strong bicameral yang menjunjung tinggi check and balances serta dinamisasi kinerja parlemen.
Transplantasi Teori Fiksi dan Konsesi Badan Hukum terhadap Hewan dan Kecerdasan Buatan sebagai Subjek Hukum: 1. Subjek Hukum: Hak dan Kewajiban Manusia dan Badan Hukum. 2. Negara Hukum Indonesia yang Antroposentris 3. Transplantasi Teori Fiksi dan Teori Konsesi Badan Hukum 4. Probabilitas Hewan dan Kecerdasan Buatan sebagai Subjek Hukum Muhammad RM Fayasy Failaq
Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains Vol 1 No 02 (2022): Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (431.174 KB)

Abstract

Manusia adalah subjek hukum alamiah yang memiliki hak dan kewajiban. Kemudian berkembanglah badan hukum sebagai subjek hukum yang diadakan. Selepas itu, perkembangan subjek hukum terus didiskusikan termasuk untuk Hewan dan Kecerdasan Buatan. Karena kondisi normatif saat ini tidak mendukung, keduanya harus ditelaah secara konseptual terlepas dari kondisi normatif yang melingkupi. Penelitian ini akan menggali secara konseptual serta menghadirkan solusi atas persoalan tersebut dengan transplantasi teori fiksi dan konsesi badan hukum sebagai subjek hukum. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Data-data diperoleh dari literatur serta sumber-sumber sekunder dari karya dan penelitian yang berkaitan dengan topik yang kemudian ditelaah secara kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini, hewan dan kecerdasan buatan dapat dijadikan subjek hukum berdasar transplantasi teori fiksi dan konsesi yang dasarnya merupakan teori badan hukum. Namun dengan pertimbangan etika dan kedaulatan, hanya hewan saja yang pantas dijadikan sebagai subjek hukum, sementara kecerdasan buatan terikat dengan subjek hukum badan hukum atau perseorangan yang menciptakan atau menggunakannya.
Legal Politics Formation of Act No.17 of 2019 concerning Water Resources Muhammad RM Fayasy Failaq; Arsyad Surya Pradana
LEGAL BRIEF Vol. 12 No. 3 (2023): August: Law Science and Field
Publisher : IHSA Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35335/legal.v12i3.818

Abstract

Act No. 17 of 2019 concerning Water Resources is a very dynamic legal product. Its formation has many influencing factors, one of which is the Constitutional Court Decision No. 85/PUU-XI/2013 which canceled Law no. 7 of 2004 and restore the enactment of Law no. 11 of 1974 concerning Irrigation. In implementing Law no. 11 of 1974 was considered incapable of being the basis for regulating water resources, so that since 2017 the Academic Paper of the Water Resources Bill has begun to be drafted. The study will focus on the formation of Law no. 17 of 2019 by using legal politics as a knife for analysis. The research method is juridical-normative with the type of library research to examine secondary sources with legal and historical approaches. The results of this study are that there are differences and developments in the style of laws related to water resources that apply in Indonesia, starting from the first with a centralized pattern to the latter becoming decentralized with the domination of permits by the center. The dynamics of the legislation of this Law runs smoothly with the forming factors which include Article 33 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, MK Decision No. 85/PUU-XI/2013, RPJP 2005-2025, RPJMN 2015-2019, and Study of the Water Resources Bill in Academic Papers. Lastly, this law was born in a democratic political configuration and the characteristics of its legal products are responsive even though it still adheres to the concept of water privatization which is rejected by several parties
Irisan Penguasan Negara dan Desentralisasi dalam Prospek Pengaturan Energi Terbarukan di Indonesia: Irisan Penguasan Negara dan Desentralisasi dalam Prospek Pengaturan Energi Terbarukan di Indonesia Muhammad RM Fayasy Failaq; Nusantara, Irma Aulia Pertiwi
Jurnal Konstitusi Vol. 21 No. 1 (2024)
Publisher : Constitutional Court of the Republic of Indonesia, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31078/jk2117

Abstract

Renewable energy has great potential in Indonesia, but Indonesia does not have integrated regulations related to renewable energy considering that these regulations are still in the process of the 2022 Proleges Draft Law (RUU). This research aims to outline views on renewable energy through the concept of central and regional government authority in managing renewable energy and analyzing it through the prospects for state control and decentralization, in order to see the potential readiness of regions in Indonesia. This research was conducted using normative juridical research. The results of this research show that the concept of state control has an intersection with decentralization in the management of energy resources. Indonesia has enormous potential for renewable energy, but regions in Indonesia still have challenges regarding readiness. Therefore, it is necessary to accelerate the EBT Bill as a legal basis to support the acceleration of renewable energy in Indonesia and the importance of carrying out the five functions of state control based on decentralization ideally for the development of renewable energy.
PEMILIHAN UMUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI IBU KOTA NEGARA NUSANTARA: PROBLEMATIKA KONSEPTUAL, URGENSI, DAN PELAKSANAAN Muhammad RM Fayasy Failaq; Dimas Adi Prasetiyo; Siti Mahmuda; Mely Noviyanti
Bahasa Indonesia Vol 5 No 1 (2023): Electoral Governance: Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia
Publisher : Komisi Pemilihan Umum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46874/tkp.v5i1.994

Abstract

ABSTRAK Terdapat dua persoalan yang mendasari penelitian ini. Pertama, Pasal 13 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) menyatakan di IKN Nusantara hanya akan dilaksanakan Pemilu pada tingkat Nasional, namun dalam PERPPU No. 1 Tahun 2022 tentang Pemilu tidak mengatur dapil khusus untuk itu. Kedua, terdapat pertanyaan konseptual untuk Pemilu DPD sebab susunan Pemda IKN yang hanya setingkat provinsi. Persoalan tersebut akan dikaji berdasarkan problematika konseptual, urgensi hadirnya DPD, serta pelaksanaan Pemilu DPD di IKN Nusantara. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Bahan hukum dari sumber kepustakaan selanjutnya akan ditelaah secara kualitatif. Kesimpulan penelitian ini, terdapat disparitas konseptual keberadaan DPD di IKN, pada satu sisi strukturnya yang setingkat provinsi tidak bisa dikategorikan sebagai provinsi sebab bukan merupakan daerah otonom. Pada sisi lain, DPD sebagai representasi regional memiliki kinerja untuk mewakili seluruh daerah dalam wilayah Indonesia. Terlepas dari itu, keberadaan DPD untuk dapil IKN memiliki urgensitas, secara umum untuk mewujudkan aspirasi kedaerahan serta secara khusus untuk melakukan kontrol terhadap kinerja Badan Otorita IKN dan Presiden dalam wilayah IKN. Terakhir, sampai diadakan Pemilu DPD di IKN, fungsi aspirasi kedaerahan dilaksanakan oleh Badan Otorita.
Inovasi dan Rekonstruksi Undang-Undang Sektoral Daerah untuk Desentralisasi Asimetris Failaq, Muhammad RM Fayasy; Madjid, Mario Agritama SW
Matra Pembaruan: Jurnal Inovasi Kebijakan Vol 7 No 2 (2023)
Publisher : Research and Development Agency Ministry of Home Affairs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21787/mp.7.2.2023.75-86

Abstract

Decentralization, which was voiced louder after the reform, in fact, still leaves residue. Among them are the uniformity of decentralization and the desire for federalism which has always existed but is challenging to execute. On this basis, the right solution is through asymmetric decentralization, which currently applies to special autonomous regions and does not solve the above problems. For this reason, this research seeks to examine the proper concept of asymmetric decentralization and present a solution in the form of regional sectoral law innovations. This research is a normative juridical law research with a conceptual approach. The data were obtained from secondary data with various legal materials related to the theme. Furthermore, the authors analyzed these data qualitatively to produce objective conclusions. In conclusion, asymmetric decentralization can also be applied to non-special autonomous regions with specific geographical, economic, administrative, and cultural aspects as basic reasons. The entrance does not need to be amended because it is enough to reconstruct regional sectoral laws and innovate to add specific government affairs.
Identifikasi Konstitusionalisme Iklim dalam Tata Hukum Indonesia Failaq, Muhammad RM Fayasy; Pradana, Arsyad Surya; Arti, Rohmatin Dwi
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 15, No 1 (2024): JNH VOL 15 NO 1 JUNI 2024
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v15i1.4314

Abstract

In efforts to combat climate change, many countries have embraced the concept of climate constitutionalism, directly embedding language related to climate and climate change into their constitutional texts. However, this approach remains familiar in Indonesia, where constitutionalism traditionally emphasizes constraining government power through an institutionalist lens. Given the potential for climate constitutionalism to bolster climate change mitigation efforts through constitutional regulations and judicial interpretation, studying its applicability in Indonesia is crucial. This article seeks to explore and propose options for incorporating climate-related clauses into the Indonesian constitution. Employing normative juridical methods, data is gathered through literature reviews focused on this issue. The findings reveal that, currently, the Indonesian constitution needs more specific climate clauses despite explicit regulations addressing climate issues at the legal level. Challenges in integrating these provisions stem from constitutional structure, the intricacies of constitutional amendments, and a need for more momentum for amendments targeting climate change specifically. However, avenues exist for integrating climate clauses into the constitution, primarily by focusing on several key aspects. These include environmental rights, climate rights, future generations’ rights, articles about the nation’s economy, and provisions related to national territory and international agreements. In conclusion, while Indonesia’s constitution does not presently incorporate climate clauses, there are viable pathways for their integration. Such inclusion could significantly bolster the country’s efforts to address climate change and its impacts. AbstrakDalam rangka mitigasi perubahan iklim, berbagai negara telah mengadopsi konsep konstitusionalisme iklim dengan memasukkan diksi terkait iklim (perubahan iklim) dalam teks konstitusinya. Namun, konsep ini tampak asing di Indonesia. Hal ini disebabkan konstitusionalisme di Indonesia lebih berfokus pada pembatasan kekuasaan pemerintah melalui pendekatan institusionalis. Kajian konstitusionalisme iklim di Indonesia menjadi penting karena potensinya dalam meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim melalui regulasi turunan konstitusi dan interpretasi peradilan. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menawarkan opsi-opsi yang memungkinkan integrasi klausul iklim ke dalam konstitusi Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan data yang diperoleh dari studi pustaka terkait dengan isu tersebut. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, konstitusi Indonesia belum memiliki klausul iklim yang spesifik untuk mendukung kerangka konstitusionalisme iklim, walaupun pada tingkat undang-undang telah ada yang mengatur isu ini secara eksplisit. Kesulitan dalam mengakomodir ketentuan tersebut dikarenakan struktur UUD, corak perubahan konstitusi, serta kurangnya aspirasi amandemen yang spesifik terhadap isu perubahan iklim. Kedua, klausul iklim dapat diintegrasikan ke dalam konstitusi dengan fokus pada beberapa aspek, seperti hak atas lingkungan, hak iklim, hak generasi mendatang, pasal-pasal terkait perekonomian negara, serta melalui adopsi pada pasal yang berkaitan dengan wilayah negara dan perjanjian internasional.
Constituent Recall bagi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Muhammad RM Fayasy Failaq; Rohmatin Dwi Arti; Audina El-Rahma; Rizki Maulana Syafei
Prosiding Seminar Hukum Aktual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Vol. 1 No. 4 NOVEMBER 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

DPD institution has many problems. On the other hand, the recall mechanism (PAW) as a forum that guarantees DPD accountability to the constituents is also problematic. It has been proven, in practice since 2014, recalls in the DPD have not been carried out as effectively as in the DPR. Recall arrangements which are mandated by the constitution through Act of Legislative produce two main focuses of this research in the form of dissecting problems and providing recommendations for arrangements whose output is reforming laws. This research method is normative juridical with qualitative data analysis from legal materials related to the theme. This study concludes that the problem of recall in the DPD is in the form of a mechanism that is less participatory for local communities as well as potential conflicts of interest because it is resolved dominantly internally by the DPD leadership and BK (Honorary Board) of the DPD. Then, the ideal recall for the DPD is a constituent recall with the Regional Government (Governor and Provincial DPRD) which proposes an interim termination on the basis of the argumentation of the reciprocal relationship between the two on the aspect of regional autonomy. In order not to be co-opted, the regional government is obliged to make the aspirations of the people the main substance of the recall. In addition, decisions can be more objective and careful because there is a relationship of checks and balances between the Governor and the Provincial DPRD.
Relevansi dan Konsistensi Penerapan Prinsip Purcell oleh Mahkamah Konstitusi dalam Pemilihan Umum Azmi Fathu Rohman; Naufal Rizqiyanto; Muhammad RM Fayasy Failaq
Lex Renaissance Vol 9 No 2 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JLR.vol9.iss2.art9

Abstract

Election regulations became rules that are most frequently changed through legislation or judiciary adjudication. These changes are sometimes made when the election stages have begun, which can cause polemics both in terms of election technicalities and in terms of the substance of election rules. In facing this, the application of the Purcell Principle by the Constitutional Court is considered to be a solution. However, the question is, this principle comes from a country with a different legal culture and election system from Indonesia. This study is here to examine the relevance of the Purcell Principle to the Indonesian general election system and to examine the consistency of the Constitutional Court's practice in applying this principle. This research is a normative legal research with a literature study. The approaches used are the case approach and the conceptual approach. The data and legal materials obtained will be analyzed qualitatively. The results of the study show that the Purcell Principle in the election system in Indonesia has urgency both technically and non-technically. To be relevant, this principle must become a legal culture that is carried out and applied by the Constitutional Court, starting from consistency and making several technical adjustments related to the time of application of this principle. Finally, in the practice of Constitutional Court Decision No. 102/PUU-VII/2009, Constitutional Court Decision No. 90/PUU-XXI/2023, and Constitutional Court Decision No. 116/PUU-XXI/2023 which is a test related to election law regulations shows that there have been differences and inconsistencies in the application of the Purcell Principle in Indonesia by the Constitutional Court.Keywords: Constitutional Court, Election, Purcell Principle AbstrakRegulasi pemilu merupakan aturan yang paling sering berubah baik melalui legislasi maupun ajudikasi oleh lembaga peradilan. Perubahan itu terkadang dilakukan ketika tahapan pemilu telah dimulai sehingga dapat menimbulkan polemik baik dari segi teknis pemilu maupun dari segi substansi aturan pemilu. Menghadapi itu, penerapan Prinsip Purcell oleh Mahkamah Konstitusi dinilai dapat menjadi solusi. Namun yang menjadi pertanyaan, prinsip tersebut hadir dari negara dengan budaya hukum dan sistem pemilu yang berbeda dengan Indonesia. Penelitian ini hadir untuk mengkaji relevansi Prinsip Purcell terhadap sistem pemilihan umum Indonesia serta mengkaji konsistensi praktik Mahkamah Konstitusi dalam penerapan prinsip tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Adapun data dan bahan hukum yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prinsip Purcell dalam sistem pemilu di Indonesia memiliki urgensitas baik secara teknis maupun non teknis. Agar relevan, prinsip tersebut harus menjadi budaya hukum yang dilakukan dan diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dimulai dari konsistensi dan dilakukan beberapa penyesuaian teknis terkait waktu penerapan prinsip tersebut. Terakhir, pada praktik Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, dan Putusan MK No. 116/PUU-XXI/2023 yang merupakan pengujian terkait aturan hukum pemilu menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan dan inkonsistensi penerapan Prinsip Purcell di Indonesia olah Mahkamah Konstitusi.Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Pemilu, Prinsip Purcell
Tinjauan Demokrasi Partisipatif dan Peluang Penerapan E-Vote pada Pemilu 2024 Failaq, Muhammad RM Fayasy; Madjid, Mario Agritama S W
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 2 No. 1 (2022): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/staatsrecht.v2i1.2802

Abstract

Abstrak: Pelaksanaan Pemilu merupakan sebuah cerminan kedaulatan rakyat dari penerapan konsep demokrasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Salah satu wacana yang hangat dibicarakan terkait Pemilu ini adalah penggunaan teknologi pemilihan elektronik (e-vote) untuk menekankan efisiensi, efektivitas, serta partisipasi masyarakat sebagai pemilih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana studi tentang E-Vote yang akan ditinjau dengan konsep demokrasi partisipatif dan peluang e-vote apabila diterapkan pada Pemilu tahun 2024. Jenis penelitian yang digunakan, yaitu yuridis normatif dengan metode library research. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum Primer,  Sekunder dan Tersier. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa sekalipun berpotensi meningkatkan partisipasi sebagaimana beberapa kasus kecil yang terjadi di Indonesia, peluang untuk menerapkan E-Vote pada Pemilu 2024 belum siap. Ketidaksiapan Indonesia untuk menerapkan E-Vote dapat dilihat dari belum memadainya kapasitas masyarakat Indonesia yang paham akan teknologi, lemahnya keamanan data cyber Indonesia, dan  belum memadainya infrastruktur internet di berbagai wilayah di Indonesia.Kata Kunci: Peluang, E-Vote, Pemilu 2024