Penelitian ini membahas praktik penahanan jaminan kredit oleh bank setelah nasabah melunasi kewajiban kreditnya, yang dalam perspektif hukum perlindungan konsumen dapat dikualifikasikan sebagai klausula baku yang merugikan konsumen. Perjanjian kredit pada umumnya disusun dalam bentuk kontrak baku sehingga menempatkan nasabah pada posisi yang tidak seimbang dibandingkan dengan bank sebagai pelaku usaha. Dalam kondisi demikian, penahanan jaminan sering kali dilakukan berdasarkan kebijakan internal bank yang tidak transparan dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menelaah ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penahanan jaminan pasca pelunasan bertentangan dengan Pasal 18 UUPK karena menghilangkan hak konsumen untuk memperoleh kembali hak miliknya. Selain itu, perlindungan hukum bagi nasabah dapat ditempuh melalui upaya preventif dan represif, yaitu pengaduan internal bank, penyelesaian sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) Sektor Jasa Keuangan, serta gugatan melalui jalur perdata. Penelitian ini menegaskan perlunya penguatan pengawasan OJK, peningkatan literasi hukum konsumen, dan komitmen bank untuk menjalankan prinsip keadilan dan transparansi dalam pelayanan jasa keuangan.