Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PENCABUTAN HAK POLITIK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Kabes, Irianto; Gultom, Elfrida Ratnawati
Ensiklopedia of Journal Vol 6, No 4 (2024): Vol. 6 No. 4 Edisi 2 Juli 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33559/eoj.v6i4.2563

Abstract

In the 2024 General Election, it was recorded that there were 27 (twenty seven) legislative candidates (candidates) who had been convicted in corruption cases running again in the 2024 General Election through 8 (eight) Political Parties, even based on the results of the legislative General Election (Pileg) there is the name of one of the convicts in a corruption case who won the most votes in his electoral district and will therefore be appointed as a Member of the Legislative Assembly in 2024. This research aims to examine this problem in more detail. Regarding the length of time for revocation of rights, which in previous regulations was not regulated in corruption regulations but rather through the decision of the constitutional guard agency in 2019, the author will analyze through legal reforms that have been passed in 2023. The research was carried out normatively and is descriptive in nature. By using secondary data to analyze qualitatively, and drawing conclusions using deductive logic. The results of research on criminal law reform have explicitly determined the length of revocation of political rights which must be set at a minimum of two years and a maximum of five years. The author provides suggestions for criminal law reform, regarding the revocation of political rights in terms of voting, minimum and maximum time limits can be set, however the revocation of the right to vote can be carried out forever according to the constitution and law.Keywords: Criminal Law Reform, Additional Crimes, Revocation of Political Rights
PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN KORPORASI DALAM PEMBAYARAN UANG PESANGON AKIBAT PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Kabes, Irianto; Multiwijaya, Vience Ratna; Suar, Aprima
Ensiklopedia Sosial Review Vol 6, No 3 (2024): Volume 6 No 3 Oktober 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33559/esr.v6i3.2734

Abstract

Abstract: Of the total 536 collective agreements related to layoffs in 2019, only 147 agreements, which is equivalent to around 27 percent, provided layoff compensation in accordance with labor regulations. On the other hand, 384 agreements, or around 73 percent, did not meet the provisions of the applicable law in terms of layoff compensation payments. This research aims to identify corporate responsibility in terms of severance pay due to layoffs., This research carried out using a normative and descriptive approach, using secondary data for qualitative analysis. Deductive logic methods are applied to reach conclusions. with the problem formulation, what is the responsibility for corporate crime in the payment of severance pay due to termination of employment? Research results show that Termination of Employment (PHK) is a termination of the employment relationship between a company and employees which can occur for various reasons, including the employer's initiative, the wishes of workers, legal regulations, or decisions of the Industrial Relations Court (PHI). Layoffs require employers to provide compensation in the form of severance pay, gratuity pay, and compensation for rights in accordance with the provisions. Types of layoffs include changes in company status, efficiency, liquidation, force majeure, bankruptcy, violation of provisions, retirement, and death or permanent disability. Corporations that do not fulfill their severance pay obligations can be subject to criminal sanctions according to various theories of corporate responsibility including strict liability, vicarious liability, direct corporate criminal liability, aggregation theory, and corporate culture model.Keywords: Corporations, Employment, Crime
Budaya Hukum Korupsi Hakim Agung Dalam Menangani Sengketa Koperasi Simpan Pinjam Di Mahkamah Agung: Studi Kasus Putusan Nomor 5779 k/Pid.Sus/2023 Kabes, Irianto; Sugiyatmo, Agus; Jaiheno, Gabriela Andriyani; Bustani, Simona
Journal of Law, Administration, and Social Science Vol 4 No 3 (2024)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/jolas.v4i3.811

Abstract

Dalam bidang pengambilan keputusan peradilan, budaya hukum hakim Mahkamah Agung memainkan peran penting dalam menentukan hasil sengketa korupsi, khususnya dalam konteks koperasi simpan pinjam. Dengan menyoroti tantangan yang dihadapi hakim Mahkamah Agung dalam kasus korupsi di sektor koperasi, penelitian ini berupaya mengungkap kompleksitas yang ada dalam menangani korupsi di lembaga keuangan dan dampak pengambilan keputusan peradilan dalam memberantas malpraktik tersebut. Ketika mengkaji prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman hakim Mahkamah Agung dalam menangani perkara korupsi, terlihat jelas bahwa kerangka peraturan yang komprehensif memainkan peran yang sangat penting. Dalam menangani sengketa korupsi yang melibatkan koperasi simpan pinjam, hakim memainkan peran penting dengan menafsirkan dan menerapkan hukum melalui berbagai kerangka dan pedoman yang dirancang untuk menegakkan integritas dan keadilan dalam sektor keuangan. Pedoman Penafsiran Pengadilan, bersama dengan Pedoman Pelaporan Pengadilan, Kebijakan Etika, dan Perilaku dan Perlindungan di Tempat Kerja, memberikan pendekatan terstruktur bagi hakim untuk menavigasi lanskap hukum yang kompleks, memastikan bahwa keputusan dibuat dengan pemahaman yang jelas tentang maksud hukum dan pertimbangan etis di pengadilan. Tantangan yang dihadapi para hakim Mahkamah Agung dalam menangani kasus-kasus korupsi di sektor koperasi simpan pinjam, sifat korupsi yang beraneka ragam menghadirkan tantangan yang besar. Korupsi, yang lebih dari sekadar penyuapan hingga mencakup korupsi politik, sangatlah berbahaya karena sifatnya yang luas dan sering kali sulit dipahami. Kompleksitas ini semakin diperparah ketika hakim diminta untuk menavigasi perairan keruh dari pelanggaran etika, yang mencakup serangkaian perilaku mulai dari sikap yang tidak patut hingga kegagalan untuk mendiskualifikasi diri mereka sendiri dalam kasus konflik kepentingan. Permasalahan etika seperti ini tidak hanya melemahkan integritas peradilan namun juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan sistem hukum untuk mengadili kasus korupsi secara adil.
Politik Hukum Perlindungan Pekerja Terhadap Tindak Pidana Pembayaran Upah Di Bawah Upah Minimum Kabes, Irianto; Sumanto, Listyowati
Journal of Law, Administration, and Social Science Vol 4 No 3 (2024)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/jolas.v4i3.818

Abstract

Permasalahan ketenagakerjaan masih terus terjadi hingga saat ini, terlihat dari Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 31/Pid.Sus/2023/PN Cbi tanggal 4 April 2023, bahwa Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) bernama PT. Intan Kreasi Jaya bergerak dalam bidang usaha garmen (artinya menjahit pakaian) dari bahan mentah menjadi pakaian, dengan jumlah tenaga kerja kurang lebih 340 orang, dengan upah di bawah upah minimum. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ketenagakerjaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif, menggunakan data sekunder untuk analisis kualitatif dan pengambilan kesimpulan menggunakan logika deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian kejahatan ketenagakerjaan masih berorientasi pada tindak pidana balas dendam. Hukuman yang bersifat preskriptif di masa depan seharusnya diubah menjadi hukuman relatif yang tujuannya untuk menciptakan ketertiban masyarakat dengan memperbaiki kerugian pekerja. Dari segi delik ketenagakerjaan harus ada kejelasan karena tindak pidana membayar upah merupakan tindak pidana yang termasuk dalam kategori delik biasa (gewone delict) dan tidak boleh berubah menjadi delik aduan (klack delict), Seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, terdapat quo vadis dalam peradilan pidana ketenagakerjaan bahwa penyelesaian tindak pidana ketenagakerjaan, yang merupakan bagian dari hukum publik, tidak boleh ditangani melalui peradilan industrial yang termasuk dalam lingkup hukum privat.
Reformasi Hukum Pidana Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Membayar Upah Minimum Menggunakan Perhitungan Take Home Pay Kabes, Irianto; Widjajanti, Ermania; Anggraini, Anna Maria Tri
Journal of Law, Administration, and Social Science Vol 4 No 5 (2024)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/jolas.v4i5.954

Abstract

Perusahaan di Kudus membayar gaji karyawan di bawah UMR yang dimana terdapat lima perseroan terbatas membayar gaji tidak sesuai dengan standar Kota tahun 2023, bentuk penerapan sanksi terhadap perusahaan tersebut adalah pembinaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perhitungan gaji yang mengelabui UMK dengan perhitungan take home pay dan melihat subjek hukum pertanggungjawaban korporasi dengan adanya reformasi hukum pidana. Penelitian dilaksanakan melalui metode penelitian hukum normatif dan naratif, memanfaatkan data sekunder buat menganalisis secara kualitatif, dan  menyimpulkan yang akan terjadi dengan menggunakan akal deduktif. Hasil penelitian menujukan bahwa pembayaran upah minimum tidak sejalan dengan regulasi merupakan perbuatan pidana. Namun dalam implementasinya masih ada korporasi yang mengelabui aturan melalui perhitungan upah take home pay yang memasukan komponen upah pokok, tunjangan bersifat tetap dan tunjangan tidak bersifat tetap dalam upah minimum hal tersebut sudah dipastikan merupakan perbuatan tindak pidana. Pencegahan tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan melalui preventif edukatif, represif non yustisial, represif yustisial, membayar upah di bawah standar minimum adalah pelanggaran hukum korporasi yang semula hanya di atur di luar KUHP. Dengan adanya reformasi aturan pidana yang memasukkan pertanggungjawaban korporasi menjadi subjek aturan yang pertanggungjawabannya dilakukan terhadap perusahaan, direktur atau pengurus yang menduduki jabatan fungsional, memberi petunjuk, pemegang kendali, dan/atau pemilik korporasi, melalui reformasi hukum pidana terdapat perubahan pidana dari paradigma absolut menjadi paradigma relatif. Di mana fokus pemidanaan bergeser dari pidana balas dendam menjadi pidana yang memperbaiki kerugian dengan dimasukan ketentuan tentang pembayaran ganti rugi.
Perkembangan pemidanaan anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia Kabes, Irianto; Widjajanti, Ermania
Journal of Law, Administration, and Social Science Vol 5 No 1 (2025)
Publisher : PT WIM Solusi Prima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54957/jolas.v5i1.1211

Abstract

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Palembang menuntut IS yang berusia 16 Tahun dengan tuntutan hukuman mati akibat perbuatan pelaku yang didakwa kasus penganiayaan dan pemerkosaan anak yang mengakibatkan kematian korban AA, Tuntutan Jaksa tersebut di tentang oleh berbagai kalangan civil society dan dianggap melanggar undang-undang, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana, Jika berdasarkan data tersebut sebagian anak yang berkonflik dengan hukum akan diancam dengan hukuman mati, tentu hal tersebut sangat mengkuatirkan, karena tujuan pemidanaan anak adalah Terwujudnya peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan pemidanaan anak yang berhadapan dengan hukum, Penelitian dilaksanakan melalui metode penelitian hukum normatif, memanfaatkan data sekunder untuk menganalisis secara kualitatif dan  menyimpulkan yang akan terjadi dengan menggunakan akal deduktif, hasil penelitian menujukan  Pemidanaan mati sangat dihindari dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. KUHP mengatur bahwa anak-anak yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup hanya dapat dijatuhi pidana penjara maksimal 15 tahun. Setelah Indonesia meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) melalui SPPA, pendekatan pemidanaan terhadap anak semakin bergeser dari pidana penjara ke pidana peringatan dan anak berhak untuk tidak dijatuhkan pidana atau pidana sumur hidup yang dimana ketentuan ini juga diakomodasi dalam KUHP Nasional yang baru disahkan. Jaksa penuntut umum yang menuntut IS berusia 16 Tahun dengan tuntutan hukuman mati jika dikaji dari Teori Legal System yakni Substansi Hukum (Legal Substance) merupakan salah satu bentuk pelanggaran peraturan perundang-undangan, Struktur Hukum (legal structure) aparat penegak hukum yang menangani anak seharusnya memenuhi kualifikasi khusus dan dari Budaya Hukum (legal structure) faktor masyarakat yang kurang memahami kesadaran dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan pengetahuan hukum, pemahaman, sikap dan prilaku masyarakat dan Diperlukan peraturan yang bersinergi agar tujuan pemidanaan dapat benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum, sebagai bagian dari generasi penerus bangsa.