Generasi sandwich merujuk pada individu yang memiliki tanggung jawab finansial terhadap dua generasi, yaitu orang tua dan anak-anak mereka. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981. Generasi sandwich menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pekerjaan, pengasuhan anak, serta perawatan orang tua yang menua. Fenomena ini banyak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana sekitar 48,7% masyarakat produktif (25-45 tahun) masuk dalam kategori ini. Beban finansial yang tinggi, meningkatnya biaya hidup, serta tekanan sosial menjadikan generasi sandwich rentan terhadap stres, kelelahan fisik, dan gangguan psikologis. Mereka juga menghadapi konflik peran yang berdampak pada kehidupan pribadi, keluarga, dan karier. Ada tiga jenis utama generasi sandwich: Traditional Sandwich Generation, Club Sandwich Generation, dan Open-Faced Sandwich Generation, yang berbeda berdasarkan jumlah tanggungan yang mereka miliki. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya generasi sandwich antara lain kegagalan pola asuh, kurangnya perencanaan keuangan jangka panjang, serta budaya yang menganggap anak sebagai investasi masa depan. Untuk mengatasi tantangan ini, individu dapat melakukan perencanaan keuangan yang lebih baik, membangun komunikasi yang asertif dengan keluarga, serta mencari dukungan sosial. Selain itu, strategi untuk memutus rantai generasi sandwich meliputi manajemen keuangan yang bijak, investasi, pengurangan gaya hidup konsumtif, serta memperbaiki relasi antar generasi. Meskipun generasi sandwich menghadapi berbagai tantangan, peran ini juga dapat membangun ketangguhan dan memberikan nilai sosial serta spiritual yang tinggi, terutama dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong dan kekeluargaan.