Israqunnajah, Israqunnajah
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

KONFLIK PEMIKIRAN METODE ISTINBATH HUKUM MADZHAB HANAFIYYAH DAN SYAFI’IYYAH DALAM HUKUM NIKAH TANPA WALI Muhammad, Yasfin Maulana; Israqunnajah, Israqunnajah; Fakhruddin, Fakhruddin; Rahmani, Mufti
JURNAL AL-IJTIMAIYYAH Vol 8, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/al-ijtimaiyyah.v8i1.13397

Abstract

Abstract: The role of the guardian in marriage in Islamic family law is an important requirement with the presence of a guardian in the marriage. Basically, the presence of a guardian in a marriage or contract intends to maintain and protect the rights of a woman. Discussions about guardians in marriage, scholars differ in their opinion, including on the role of a guardian in marriage. The guardian has the full right to guardianship (prospective bride) in marriage, including as the utterance of the Ijab sentence to the prospective groom. A guardian in a marriage has a position. The Syafiiyyah Madhhab said that the role of a guardian in a marriage is a condition for the validity of a marriage contract. This is different from the opinion of the Hanafiyyah School which says that marriage is considered valid even though there is no female guardian. From this explanation, there are differences of opinion between Hanafiyyah and Syafi'iyyah in the law of tabpa wali marriage. (1) The Hanafiyyah School concludes that the marriage of a woman (a virgin or a widow) is considered valid even though she does not use a guardian in her marriage and the pillars of marriage according to the Hanafiyyah scholars are only consent and qabul. (2) The Syafii'iyyah school concludes that any woman who wants to get married is obliged to present her guardian and two just men as witnesses and the pillars of marriage according to the Syafi'iyyah scholars are consent and qabul, both the bride and the guardian.Keywords: Thought; Legal Istinbath Method; Madhab; Marriage without Guardian.Abstrak: Peran wali dalam perkawinan dalam hukum keluarga Islam merupakan syarat penting dengan hadirnya seorang wali dalam perkawinan. Pada dasarnya hadirnya seorang wali dalam perkawinan atau akad bermaksud untuk menjaga dan melindungi atas hak seorang perempuan tersebut. Pembahasan seputar wali dalam pernikahan para ulama berbeda-beda dalam berpendapat diantaranya pada peran seorang wali dalam pernikahan. Wali berhak penuh atas pewalian (calon mempelai perempuan) dalam perkawinan diantaranya sebagai pengucap kalimat ijab terhadap calon pengantin laki-laki. Seorang wali dalam sebuah pernikahan mempunyai kedudukan. Madzhab Syafiiyyah mengatakan peran seorang wali dalam sebuah pernikahan adalah sebagai syarat sah nya sebuah akad pernikahan. Berbeda dengan pendapat madzhab Hanafiyyah yang mengatakan pernikahan dianggap sah walaupun tidak adanya wali dari pihak perempuan. Dari pemaparan tersebut terdapat adanya perbedaan pendapat anatara hanafiyyah dan Syafi’iyyah dalam hukum nikah tabpa wali. (1) Madzhab Hanafiyyah menyimpulkan pernikahan perempuan (perawan atau janda) dianggap sah walaupun tidak menggunakan wali dalam pernikanya dan rukun nikah menurut para ulama Hanafiyyah hanya ijab dan qabul. (2) Madzhab Syafii’iyyah menyimpulan bahwa seorang perempuan mana pun yang hendak ingin menikah maka wajib menghadirkan walinya dan dua orang lelaki yang adil sebagai saksi dan rukun nikah menurut para ulama Syafi’iyyah adalah ijab dan qabul, kedua mempelai dan wali.Kata Kunci: Pemikiran; Metode Istinbath Hukum; Madzhab; Nikah Tanpa Wali.
Integrating Kafaah Nasabiyah in Islamic Family Education: Lessons from Ibn Qudamah and Ibn Hazm in the Indonesian Context Jamal, Jamal; Israqunnajah, Israqunnajah; Zenrif, M. Fauzan; Al-Turki, Usamah
Madania: Jurnal Kajian Keislaman Vol 29, No 1 (2025): JUNE
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Fatmawati Sukarno Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/madania.v29i1.7624

Abstract

This study examines the extent to which kafaah nasabiyah can serve as a solution to strengthen household resilience amid rising divorce rates caused by social, economic, and cultural disparities in an increasingly heterogeneous society. The research employs a qualitative approach with a library research design. Primary data is sourced from the works of Ibn Qudamah, such as al-Mughni, and Ibn Hazm through al-Muhalla, supplemented by secondary data from classical and contemporary fiqh literature, Islamic legal documents, and jurisprudential analyses in Indonesia. The data analysis technique involves a descriptive-analytical method with a comparative approach to identify commonalities and differences in the thoughts of both scholars and their implications for the practice of Islamic law in Indonesia. The findings reveal that kafaah nasabiyah holds historical and sociological significance in maintaining household stability. Ibn Qudamah supports the concept as a means to prevent disharmony caused by social disparities, while Ibn Hazm rejects it, arguing that Islam does not impose lineage-based restrictions on marriage. Both in the scope of Islamic boarding schools, madrasas, or premarital education programs, Ibn Qudamah’s perspective is more widely adopted in social practices, particularly in communities that continue to uphold lineage-based stratification when selecting marriage partners. However, this study also finds that the primary causes of divorce in Indonesia are more closely related to economic and psychological factors rather than mere lineage incompatibility. Therefore, while kafaah nasabiyah may be a consideration in marriage, it is not a determinant factor in divorce mitigation. Instead, a more comprehensive, multidimensional approach is required. Penelitian ini mengkaji sejauh mana kafaah nasabiyah dapat menjadi solusi untuk memperkuat ketahanan rumah tangga di tengah meningkatnya kasus perceraian akibat kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat yang semakin heterogen. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian kepustakaan. Data primer bersumber dari karya-karya Ibnu Qudamah, seperti al-Mughni, dan Ibnu Hazm melalui al-Muhalla, dilengkapi dengan data sekunder dari literatur fikih klasik dan kontemporer, dokumen-dokumen hukum Islam, dan analisis yurisprudensi di Indonesia. Teknik analisis data menggunakan metode deskriptif-analitis dengan pendekatan komparatif untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan pemikiran kedua ulama dan implikasinya terhadap praktik hukum Islam di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa kafaah nasabiyah memiliki nilai historis dan sosiologis dalam menjaga stabilitas rumah tangga. Ibnu Qudamah mendukung konsep ini untuk mencegah ketidakharmonisan akibat kesenjangan sosial, sedangkan Ibnu Hazm menolaknya karena Islam tidak membatasi pernikahan berdasarkan garis keturunan.. Dalam konteks Indonesia, baik dalam lingkup pondok pesantren, madrasah, maupun program pendidikan pranikah, perspektif Ibnu Qudamah lebih banyak diadopsi dalam praktik sosial, terutama di masyarakat yang masih menjunjung tinggi stratifikasi berdasarkan garis keturunan dalam memilih pasangan pernikahan. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa penyebab utama perceraian di Indonesia lebih berkaitan erat dengan faktor ekonomi dan psikologis daripada ketidakcocokan nasab. Oleh karena itu, meskipun kafaah nasabiyah dapat menjadi pertimbangan dalam pernikahan, namun hal tersebut bukanlah faktor penentu dalam mengurangi perceraian. Sebaliknya, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan multidimensi.