Pengesahan perjanjian perdamaian yang diterbitkan oleh Pengadilan Niaga mengakibatkan perjanjian perdamaian yang dilakukan tersebut mengikat antar para pihak dan berlaku secara hukum. Setiap perkara yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di pengadilan, tentunya harus mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pada implementasinya, tidak mudah untuk mewujudkan adanya ketiga aspek tersebut terutama aspek kepastian hukum. Kepastian hukum bisa terwujud jika dalam setiap substansi hukumnya sesuai pada norma ataupun kebutuhan bagi masyarakat. Artinya, hukum bisa memberikan kepastian hukum yang dapat memberikan cerminan budaya serta berasal dari masyarakat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum putusan perdamaian (homologasi) terkait PKPU dalam perkara kepailitan beserta akibat hukumnya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan melalui perundang-undangan. Sumber data yang digunakan ialah sumber data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan adanya ketidakpastian hukum dalam putusan pembatalan perjanjian perdamaian karena suatu perjanjian yang telah disahkan seharusnya tidak dapat dibatalkan dan dilaksanakannya pembatalan perjanjian yang telah disahkan tersebut menimbulkan akibat hukum baik kepada debitur maupun kreditur. Akibat hukum tersebut yakni perjanjian perdamaian yang sudah disahkan dianggap tidak pernah terjadi dan batal demi hukum. Debitur dinyatakan pailit kembali karena dianggap lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam pembayaran utang yang telah jatuh tempo berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Bagi kreditur, harta pailit debitur dibagi kepada para kreditur dengan berbagai cara berdasar pada Pasal 176 UU No. 37 Tahun 2004. Kesimpulan dan saran dalam penelitian ini adalah agar ada aturan mengenai ketentuan lebih lanjut perihal pembatalan perjanjian perdamaian guna mewujudkan kepastian hukum