Karena al-Qur'an shahih likulli zaman wa makan, hendaknya al-Qur'an dimaknai secara tepat sesuai dengan tuntutan kehidupan. Pada dasarnya kehidupan telah berubah dalam berbagai situasi dan kondisi, diantaranya dalam gaya hidup, hubungan antarmanusia, globalisasi, migrasi, kemajuan ilmu teknologi dan pengetahuan. Modernisasi telah menimbulkan permasalahan serius terkait Al-Qur’an sebagai sumber utama yurisprudensi Islam yang muncul “tidak dapat dijalankan”, kecuali oleh segelintir umat Islam. Jika tidak dilakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, besar kemungkinan fikih Islam akan ditolak, dianggap tidak relevan, dan kontra-produktif terhadap kebutuhan hidup. Untuk dapat melakukan penafsiran ulang diperlukan pendekatan penafsiran Maqashidi dalam menafsirkan Al-Qur’an khususnya pada ayat-ayat etika-hukum. Ada dua implikasi signifikan dalam pendekatan penafsiran maqashidi; pertama, paradigma tafsir maqashid adalah pola pikir dan cara pandang terhadap Al-Qur’an serta penafsirannya dengan konsep maqashid al-shari’ah sebagai titik tolaknya. Konsep maqashid menjadi landasan utama dalam penalaran dan yang membentuk sistem penafsiran. Kedua, metode penafsiran pendekatan maqashidi menekankan pada tiga pilar, yaitu kesadaran sejarah (al-wa’yu al-tarikh), kesadaran teoritis (al-wa’yu al-nazhari), kesadaran praksis (al-wa’yu al-nazhari). Secara praktis, langkah-langkah penafsiran maqashidi adalah kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi