Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KEDUDUKAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MELAPORKAN TRANSAKSI MENCURIGAKAN KE PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN Yusuf, Edi; Lukman, F.X. Arsin
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 12 No 3 (2024)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2024.v12.i03.p12

Abstract

Tujuan studi ini untuk mengkaji kedudukan serta kewajiban dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal berlakunya peraturan pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan upaya penyelesaian potensi konflik terhadap PPAT dan penghadap. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan putusan. Hasil studi menunjukkan bahwa PPAT harus bertanggung jawab atas tindakan yang diambil dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang seperti harus memiliki bukti tertulis bahwa telah melaksanakan tugasnya sebagai pelapor apabila menemukan transaksi yang mencurigakan dan PPAT wajib melaporkan transaksi mencurigkan dari penghadap yang akan membuat akta ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tetapi disertai dengan menjaga identitas penghadap sebelum dipastikanya bahwa transaksi tersebut dari hasil tindak pidana pencucian uang. The purpose of this study is to examine the position and obligations and responsibilities of LDO in terms of the implementation of government regulation Number 43 of 2015 concerning reporting parties in preventing and eradicating criminal acts of money laundering and efforts to resolve potential conflicts between LDO and those facing it. This study uses normative legal research methods with a legislative and decision approach. The results of the study show that LDO must be responsible for the actions taken in order to prevent and eradicate money laundering crimes, such as having written evidence that it has carried out its duties as a reporter if it finds suspicious transactions and LDO is obliged to report suspicious transactions from the person who will make the deed to e Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (INTRAC) but accompanied by protecting the identity of the person appearing before confirming that the transaction is the result of a money laundering crime.
KESALAHAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN (Studi Kasus Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG) Putri, Irenia Priyono; Lukman, F.X. Arsin
Keadilan : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Vol 23 No 2 (2025): Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37090/keadilan.v23i2.2159

Abstract

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Autentik. Akta Autentik dalam Pasal 1868 KUHPer yaitu suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana akta dibuat. Salah satunya membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Notaris tidak terlepas dari adanya suatu kesalahan, sehingga Notaris dapat dituntut tanggung jawab apabila akta tersebut menimbulkan permasalahan. Sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Nomor 51/Pdt.G/2020/Pn. Plg bahwa Turut Tergugat I mengeluarkan Akta Pengikatan Jual Beli No.105 antara Tergugat I dengan Tergugat II dilakukan tanpa sepengetahuan Penggugat. Dalam penelitian ini, dengan rumusan masalah yaitu apakah kesalahan yang dilakukan Notaris terhadap Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 105 yang dibuatnya sehingga dibatalkan oleh Pengadilan sebagaimana dalam Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG dan bagaimanakah tanggungjawab Notaris atas pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Pengadilan berdasarkan Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG akibat adanya Perbuatan Melawan Hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis, menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara. Simpulan dari penelitian ini bahwa terbukti adanya kesalahan yang dilakukan Notaris, sehingga akta tersebut dibatalkan oleh Pengadilan dan akta tersebut menjadi tidak sah. Notarispun dituntut tanggungjawab secara administratif atas kesalahannya. Kata Kunci: Notaris, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Tanggungjawab
KESALAHAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN (Studi Kasus Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG) Putri, Irenia Priyono; Lukman, F.X. Arsin
Keadilan : Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Vol 23 No 2 (2025): Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37090/keadilan.v23i2.2159

Abstract

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Autentik. Akta Autentik dalam Pasal 1868 KUHPer yaitu suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana akta dibuat. Salah satunya membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Notaris tidak terlepas dari adanya suatu kesalahan, sehingga Notaris dapat dituntut tanggung jawab apabila akta tersebut menimbulkan permasalahan. Sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Nomor 51/Pdt.G/2020/Pn. Plg bahwa Turut Tergugat I mengeluarkan Akta Pengikatan Jual Beli No.105 antara Tergugat I dengan Tergugat II dilakukan tanpa sepengetahuan Penggugat. Dalam penelitian ini, dengan rumusan masalah yaitu apakah kesalahan yang dilakukan Notaris terhadap Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 105 yang dibuatnya sehingga dibatalkan oleh Pengadilan sebagaimana dalam Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG dan bagaimanakah tanggungjawab Notaris atas pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Pengadilan berdasarkan Putusan No. 51/PDT.G/2020/PN. PLG akibat adanya Perbuatan Melawan Hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis, menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara. Simpulan dari penelitian ini bahwa terbukti adanya kesalahan yang dilakukan Notaris, sehingga akta tersebut dibatalkan oleh Pengadilan dan akta tersebut menjadi tidak sah. Notarispun dituntut tanggungjawab secara administratif atas kesalahannya. Kata Kunci: Notaris, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Tanggungjawab
Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Akta Jual Beli Batal Demi Hukum (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1615 K/PDT/2020) Liwandi, Reynaldi; Lukman, F.X. Arsin
Wajah Hukum Vol 7, No 2 (2023): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/wjh.v7i2.1264

Abstract

In conducting the sale and purchase of land, material requirements must be met followed by formal requirements, namely the deed of sale and purchase is drawn up and signed by the parties before the Land Deed Making Officer. The deed of sale and purchase serves as evidence that a binding agreement and agreement have been made among the parties involved, confirming the transfer of land rights accompanied by the payment of the price, thereby making the recipient of the rights or the buyer the new holder of the rights. This study aims to examine a tort of transferring land rights without the knowledge of the landowner in the case of Supreme Court Decision Number 1615 K/Pdt/2020, and the transfer of land rights based on national land law. The research method used in this study is normative legal research. This study resulted in the conclusion that the legal considerations and the judge's decision in the Supreme Court Decision Number 1615 K/Pdt/2020 were appropriate, proving that the Defendants had engaged in a tort under Article 1365 of the Civil Code, which resulted in the transfer of ownership rights without the knowledge of the Plaintiff. Since the enactment of Government Regulation No. 10/1961, which was later amended to Government Regulation No. 24/1997 concerning Land Registration, the sale and purchase transactions are conducted in the presence of authorized Land Deed Officers who have the authority to create the deed. The conclusive evidence of a transfer of the rights from the seller to the buyer, along with the payment of the agreed-upon price, is established by the executed deed of sale and purchase between the involved parties. Therefore, the relevant sale and purchase transaction has been carried out in a tangible manner.
The Structural Transformation of Land Administration Institutions in Aceh Province within the Framework of Public Land Administration Services Based on the General Principles of Good Governance (AAUPB) Lukman, F.X. Arsin; Ghalib, Muhammmad Farhan Al
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 5 No. 2 (2025): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 5 No. 2 Desember 202
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/60agnh89

Abstract

This study examines the structural changes in land administration institutions in Aceh Province within the framework of land administration services based on the General Principles of Good Governance (AAUPB). The background of this research lies in Aceh’s special autonomy status, which grants authority over land management under Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh. The research method applied is normative juridical, employing a statutory approach, a conceptual approach, and supported by interviews with relevant stakeholders. The findings indicate that the structural change positions the Aceh Land Agency (Dinas Pertanahan Aceh) as responsible for policy formulation and customary land management, while the Aceh branch of the National Land Agency (BPN Aceh) focuses on technical services such as land registration. The implementation of AAUPB principles—such as legal certainty, transparency, and accountability—has been applied, although challenges remain, including regulatory disharmony and limited integration of information systems. The study recommends accelerating the enactment of the Aceh Land Qanun, harmonizing regulations, and digitalizing land services. Keywords: Institutional Change, Land Administration, Aceh, AAUPB, Aceh Land Qanun