Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Tukar Peran Suami dan Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Keluarga dan Gender Muhammad Adib; Dona Salwa; Muthmainnah Khairiyah
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 8 No. 1 (2024)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jils.v8i1.12855

Abstract

Suami dan istri didalam pernikahan memiliki keseimbangan hak dan kedudukan sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Keseimbangan ini dijelaskan pada bab VI tentang hak dan kewajiban suami istri Pasal 31 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya pasal 34 menjelaskan peranan suami yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Jika kita lihat realita dalam berkehidupan masyarakat, perempuan erat kaitannya dengan sesosok istri yang hanya berkewajiban di area domestik, sedangkan laki-laki merupakan suami yang berperan besar di ranah publik sebagai figur tulang punggung keluarga. Jurnal ini bertujuan untuk melihat bagaimana pandangan hukum keluarga dan gender apabila suami dan istri saling bertukar peran dalam rumah tangga terkhusus mengenai peranan seorang istri sebagai tulang punggung keluarga dan suami sebagai bapak rumah tangga. Metode penelitian dalam jurnal ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian dari jurnal ini adalah Suami merupakan kepala keluarga bagi rumah tangganya yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun hal tersebut juga tidak mengurangi dari hak perempuan untuk bekerja dan berkarir sebagaimana yang ia inginkan. Apabila keadaan suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga, maka istri bisa mengambil keputusan dengan musyawarah bersama suaminya. Dalam hal ini istri boleh membebaskan suaminya dari menanggung hak nafkahnya dengan catatan istri rela akan hal itu, ini berdasarkan pasal 80 ayat 6 yaitu istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya. Secara gender, beriringan dengan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, wanita kini mulai aktif di ranah publik, meniti karir dan memegang berbagai posisi di berbagai instansi dan lembaga. Semangat pemberdayaan perempuan ini mendorong banyak wanita untuk berpartisipasi dalam dunia profesional.
Implikasi Perubahan Undang-undang Perkawinan mengenai Batas Usia Perkawinan dalam Sistem Hukum Keluarga di Indonesia Dona Salwa; Soraya Parahdina; Abidzar Al Ghiffary
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 8 No. 1 (2024)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18592/jils.v8i1.12860

Abstract

Rumusan dari Pasal 7 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan penjelasan terkait batas usia minimal perkawinan yakni pria berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Tepat di tahun 2016 setelah ditetapkannya UU No. 16 Tahun 2019, batas usia perkawinan mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama untuk perempuan. Batas usia minimal perkawinan bagi perempuan berubah menjadi 19 tahun, disamakan dengan pria. Jurnal ini bertujuan untuk melihat bagaimana implikasi perubahan batas usia perkawinan dalam UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap sistem hukum keluarga. Metode penelitian dalam jurnal ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan batas usia perkawinan yang semula diharapkan agar dapat memberikan perlindungan bagi anak perempuan dari pernikahan dini. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Perubahan batas usia perkawinan untuk perempuan tidak menyurutkan mereka untuk melaksanakan sebuah perkawinan. Meskipun terdapat perubahan pada batas usia perkawinan masih ada tantangan lain yaitu terdapat implikasi dalam beberapa persoalan berupa maraknya pernikahan dini, meningkatnya permohonan dispensasi nikah terutama di provinsi Kalimantan Selatan dan juga berpotensi meningkatkan angka permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama. Padahal jika ditelusuri ke belakang salah satu alasan diundangkannya UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah guna dapat menekan angka pernikahan dini. Namun realitanya tidak demikian, bahkan di tahun 2022 berdasarkan perolehan data dari UNICEF Indonesia berada di peringkat ke-8 dunia dan ke-2 di ASEAN. Oleh karena itu, upaya komprehensif sangat dibutuhkan tidak hanya memerlukan intervensi pemerintah tetapi juga keterlibatan aktif dari orang tua dan remaja. Karena masyarakat masih mengandalkan dispensasi nikah sebagai pilihan jalan keluar dari permasalahan batas usia perkawinan yang belum dapat dipenuhi.