Abstrac This is a research of normative legal research type using a conceptual approach. The purpose of this study is to explore the discourse of iddah for men from the perspective of Islamic feminism and to reconstruct the view of classical fiqh, as well as to measure the possibility of implementing this iddah in contemporary society. The findings of this study can be concluded that the application of iddah for men is in line with the basic principles of the Qur’an, namely justice and benefit, and strengthens the view that Islam is a universal religion and a mercy for all creation, including women. However, from the perspective of fiqh, there are two different views. First, the view that iddah for men is not part of Islamic law, because it is considered a legal provision that must be carried out without question or debate. Second, the view that iddah for men is part of Islamic law. In this view, men are given the responsibility to fulfill a number of obligations during the woman’s iddah period, such as providing for her, living together, and calculating iddah, provided that they do not harm their wives. Based on the principle ما لا يتم الواجب الا به فهو الواجب, iddah for men is considered an obligation. This research is an effort to discuss and detail various views related to this issue, promote a deeper understanding of Islamic feminism, and consider the practical impact of fiqh views on iddah for men in contemporary society. Keywords: Iddah, Fiqh, Feminisme Islam. Abstrak Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendalami wacana iddah bagi laki-laki dari perspektif feminisme Islam dan merekonstruksi pandangan fiqih klasik, serta mengukur kemungkinan penerapan iddah ini dalam masyarakat kontemporer. Hasil temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan iddah bagi laki-laki sejalan dengan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an, yaitu keadilan dan kemaslahatan, serta memperkuat pandangan bahwa Islam adalah agama universal dan rahmat bagi seluruh alam, termasuk perempuan. Namun, dalam perspektif fiqih, terdapat dua pandangan yang berbeda. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa iddah bagi laki-laki bukan merupakan syariat Islam, karena dianggap sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan tanpa pertanyaan atau perdebatan. Kedua, pandangan yang memandang iddah bagi laki-laki sebagai bagian dari syariat Islam. Dalam pandangan ini, laki-laki diberi tanggung jawab untuk memenuhi sejumlah khitab selama masa iddah perempuan, seperti menafkahi, tinggal bersama, dan menghitung iddah, dengan syarat tidak membahayakan istrinya. Dengan berpegang pada prinsip ما لا يتم الواجب الا به فهو الواجب, maka iddah bagi laki-laki dianggap sebagai kewajiban. Penelitian ini merupakan upaya untuk mendiskusikan dan merinci pandangan beragam terkait isu ini, mempromosikan pemahaman yang lebih dalam tentang feminisme Islam, dan mempertimbangkan dampak praktis dari pandangan fiqih terhadap iddah bagi laki-laki dalam masyarakat kontemporer. Kata Kunci: Iddah, Fiqih, Feminisme Islam