Sebanyak 33 kali judicial review soal presidential threshold telah dilakukan dan akhirnya pada pengujian ke 34 dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 Mahkamah Konstitusi membatalkannya. Nyaris tidak ada lagi argumentasi dan dalil hukum yang bisa digunakan, semua teori sudah habis terpakai, ada faktor non hukum yang menyebabkan hakim merubah pendiriannya. Bahkan jika mencermati ratio decidendi hakim sebagian besar sudah pernah di argumentasikan oleh para pemohon sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu berubahnya pendirian hakim dalam membatalkan norma presidential threshold memberikan dua pertanyaan untuk dibahas lebih mendalam, yaitu pertama, Apa yang menyebabkan hakim Mahkamah Konstitusi berubah pendirian? kedua, bagaimana cara mengatur pencalonan kadidat pilpres di tahun 2029 mendatang pasca presidential threshold dihapus? Penelitian ini menggunakan penelitian normatif. Hasil dari penilitian ini menunjukkan bahwa ada faktor non hukum mengapa putusan ini bisa dikabulkan yaitu berubahnya komposisi hakim yang merupakan faktor utama, ada dua hakim yang masuk sebagai pemain baru, tiga orang hakim lainnya yang berubah pendirian, sementara hakim yang konsisten sejak awal mengatakan presidential threshold itu inkonstitusional hanya dua hakim. Ada teori yang bisa digunakan untuk membaca arah pemikiran hakim yaitu judicial activism vs judicial restraints judicial heroes, bila dicermati kesembilan hakim MK itu mengambil putusan dengan cara seperti itu dan semua orang bisa membaca situasinya melalui dissenting opinion mereka. Mempersiapkan pemilu 2029 mendatang semua partai diwajibkan untuk menetapkan calon presiden harus melalui konvensi nasional (pre elementary election) di internal partai, bukan lewat ketua partai. Sebelum partai yang baru dibentuk berkompetisi di level nasional harus lebih dulu memperkuat basis dukungan di level lokal.