Andryan Andryan, Andryan
Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KONSTITUSIONALITAS MASA WAKTU SENGKETA PEMILIHAN PRESIDEN DI MAHKAMAH KONSTITUSI Andryan, Andryan; Harahap, Muhammad Kholis
BULETIN KONSTITUSI Vol 4, No 2 (2023): Vol. 4, No. 2
Publisher : BULETIN KONSTITUSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perselisihan hasil pemilihan umum yang terjadi pada pemilihan Presiden, Kepala Daerah Gubernur dan Walikota atau Bupati, anggota DPR, DPD dan DPRD  diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi namun pada tiap tingkatan pemilu itu Mahkamah Konstitusi memiliki jangka waktu memutus yang tidak konsisten terhadap perkara perselisihan sengketa hasil pemilu, untuk sengketa pilpres MK diberi waktu maksimal 14 hari kerja sementara untuk sengketa pilkada MK diberi waktu yang cukup panjang yakni 45 hari kerja. Perbedaan antara jangka waktu memutus perselisihan hasil pemilihan umum tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap hasil putusan MK serta beban bagi pemohon dalam mempersiapkan alat bukti yang pada dasarnya Pilpres memiliki cakupan ruang lingkup pemungutan suara yang sangat luas dibandingkan dengan Pilkada yang hanya mencakup satu provinsi atau satu kabupaten/kota. Bukankah logikanya terbalik yang mestinya sengketa Pilpres diberikan waktu 45 hari memutus dan sengketa Pilkada hanya cukup 14 hari. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses persidangan terhadap sengketa hasil antara Pilpres dan Pilkada dan apa dampak jika jangka waktu mengadili sengketa perselisihan hasil Pilpres diperpanjang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Kesimpulan dalam penelitian ini menegaskan bahwa pembuktian yang dibebankan kepada pemohon sangat memiliki waktu yang sangat sempit sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta MK juga dalam keadaan yang sangat mendesak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara selama 14 hari kerja dan apabila MK diberi perpanjangan waktu untuk memutus lebih dari 14 hari atau yang disarankan pada penelitian ini untuk 45 hari kerja maka sama sekali tidak menyebabkan Negara dalam keadaan vakum kekuasaan.
PERGESERAN KEKUASAAN PREROGATIF PRESIDEN DALAM SISTEM PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Andryan, Andryan
BULETIN KONSTITUSI Vol 4, No 2 (2023): Vol. 4, No. 2
Publisher : BULETIN KONSTITUSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perubahan UUD 1945, telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan presiden tidak bisa dilepaskan dari perkembangan konstitusi dan praktik ketatanegaraan di Indonesia. Setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, hampir tidak ada kewenangan Presiden yang dapat dilakukan sendiri tanpa meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga lain, kecuali pengangkatan menteri-menteri. Permasalahan dalam penelitian ini, bagaimana formulasi kekuasaan Prerogatif Presiden sesuai dengan Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Perubahan UUD 1945? Metode penelitian yang digunakan yuridis-normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konseptual, dan Pendekatan Sejarah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan Kekuasaan Prerogatif Presiden tidak sesuai dengan konsepsi ideal sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, konstitusi telah menempatkan hak prerogatif presiden yang sangat dominan, kini setelah perubahan yang sangat mendasar terhadap konstitusi juga berimplikasi pada pergeseran kekuasaan prerogatif presiden. Dalam sistem presidensial, presiden mempunyai kewenangan mutlak dalam pengangkatan menteri, meskipun dalam prakteknya Presiden juga sangat terikat dengan partai-partai pendukung atau pihak lain yang telah membuat komitmen politik dengan presiden. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam UUD 1945 pasca amandemen, tidak ada lagi yang benar-benar menjadi kekuasaan prerogatif presiden yang dapat dilakukan tanpa mendapat persetujuan atau pertimbangan terutama dari Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga representasi rakyat. Kekuasaan prerogatif juga mempunyai kecenderungan undemocratic and potentially dangerous, maka untuk meningkatkan pertanggungjawaban publik, penggunaan kekuasaan prerogatif Presiden harus adanya pembatasan kekuasaan dengan melibatkan kelembagaan sebagai representasi rakyat.
Analisis Kebijakan Insentif Dalam Rangka Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Indonesia Sihombing, Eka NAM; Andryan, Andryan; Astuti, Mirsa
JATISWARA Vol. 36 No. 1 (2021): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v36i1.278

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kebijakan insentif yang berkelanjutan dalam perlindungan lahan pertanian pangan di masa mendatang. Untuk menahan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Undang-Undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Salah satu hal yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah terkait dengan kebijakan pemberian insentif, akan tetapi kebijakan tersebutmasih berbasis lahan, sehingga insentif hanya diberikan kepada pemilik lahan pertanian yang tidak mengalihfungsikan lahan pertanian pangan. Di mana dengan perkembangan teknologi sekarang ini serta untuk menjaga ketahanan pangan, maka pengembangan varietas unggul pertanian tidak harus dikembangkan berbasis lahan. Oleh karena itu, untuk menjaga ketahanan pangan, diperlukan suatu upaya untuk mengembangkan kebijakan yang tidak hanya berbasis lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa kebijakan pemberian insentif kepada petani masih berbasis luas lahan, di mana salah satu pertimbangan pemberian insentif adalah memiliki luas tanam paling sedikit 25 (dua puluh lima) hektar dan kebijakan pemberian insentif kepada petani dalam rangka perlindungan lahan pertanian dinilai kurang tepat, karena insentif yang diberikan masih berupa program reguler yang dilaksanakan oleh pemerintah.