Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Mengartikulasikan Spiritualitas-Etis Taha Abdurrahman dalam Merespons Krisis Kemanusiaan Modern Rahman, Muhammad Minanur; Wafi, Muhammad Yusron
ESOTERIK Vol 10, No 1 (2024): Available in June 2024
Publisher : Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi, Jurusan Ushuluddin IAIN KUDUS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/esoterik.v10i1.25457

Abstract

Western modernity has turned humanity away from humanity itself. Western modernity has glorified rationality to the point of severing the connection between rationality and ethics. Humans, who are essentially ethical beings, are trapped in materialism that leads to colonialism. Departing from this phenomenon, Taha Abdurrahman was moved to reconceptualize modernity based on spiritual-ethics. So, this paper tries to articulate how his concept of modernity is able to answer the problem of humanitarian crisis. This paper is a library research using descriptive-analytic. The result of this research is that Taha Abdurrahman reconceptualizes western modernity into Islamic modernity that is close to spirituality-ethics. He criticizes Western modernism for favoring only rationalism. The new concept he offers is Islamic modernism which holds the principles of al-rusyd, al-naqdi and al-syumul. In addition, the concept of Islamic modernity initiated by Taha does not change or damage the local traditions that exist in each region because it is closely related to spirituality-ethics.
‘Illat, Hikmah, Qiyas: Studi Pemikiran Imam Ar-Razi dan Imam Al-Amidi tentang Penetapan Hukum dalam Istinbat Qiyasi Rahman, Muhammad Minanur; Wahid, Wawan Gunawan Abdul
Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum Vol. 11 No. 1 (2023): Al-Mazaahib
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/al-mazaahib.v11i1.3045

Abstract

The majority of scholars state that hikmah cannot be considered as an ‘illat (legal cause) due to its abstract and elusive nature. This article aims to examine the views of Imam ar-Razi and Imam al-Amidi regarding hikmah as an ‘illat in Islamic jurisprudence, identify their similarities and differences, and explore the implications for legal deduction. This research uses a literature review methodology with a comparative analysis of the works of Imam ar-Razi and Imam al-Amidi as the primary data sources. The article utilizes usul al-fiqh, a methodological approach to the study of legal issues based on the framework of ‘illat and the hikmah of the law in Islamic jurisprudence. The findings of this article indicate that Imam ar-Razi rejects the use of hikmah as an ‘illat, arguing that hikmah is uncertain and its nature is not constant for every law. On the other hand, Imam al-Amidi suggests that a law accompanied by a clear nature can contain hidden hikmah. The commonality in the thinking of both scholars lies in their rejection of ta’lilul ahkam bi al-hikmah. They argue that hikmah is difficult to ascertain and possesses an abstract nature. There are three key differences between these two scholars: in terms of methodology, thinking, and implications.[Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hikmah tidak dapat menjadi ‘illat karena sifatnya yang abstrak dan sulit dipahami. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran Imam ar-Razi dan Imam al-Amidi mengenai hikmah sebagai ‘illat hukum, menemukan persamaan dan perbedaannya, serta implikasinya terhadap istinbat hukum. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan analisis komparatif berdasarkan karya Imam ar-Razi dan Imam al-Amidi sebagai sumber data utama. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah usul al-fiqh, yang merupakan pendekatan untuk memahami masalah hukum berdasarkan kerangka teori ‘illat dan hikmah hukum dalam usul fiqh. Penemuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa Imam ar-Razi menolak penggunaan hikmah sebagai ‘illat dengan alasan bahwa hikmah itu tidak dapat diketahui dengan pasti dan sifatnya tidak tetap untuk setiap hukum. Di sisi lain, Imam al-Amidi berpendapat bahwa hukum yang disertai dengan sifat yang jelas dapat mengandung hikmah yang tersembunyi. Persamaan dalam pemikiran kedua tokoh ini adalah penolakan terhadap ta’lilul ahkam bi al-hikmah. Mereka berpendapat bahwa hikmah sulit untuk ditemukan dan bersifat abstrak. Terdapat tiga perbedaan utama antara kedua tokoh tersebut: dalam metode, pemikiran, dan implikasi hukumnya.]
Sorogan Kitab: Eksistensi, Enkulturasi Dan Pewarisan Metode Ilmiah Pesantren Al-Amiin S., Muhimmuts Tsaalits; Rahman, Muhammad Minanur
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 10 No. 1 (2025)
Publisher : Sunan Kalijaga State Islamic University Yogyakarta, Indonesia.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/jkii.v10i1.1374

Abstract

Penelitian yang meneliti sorogan sebagai praktik pewarisan budaya intelektual pesantren belum banyak dilakukan secara mendalam. Padahal, metode ini menyimpan kekhasan dalam mentransmisikan budaya ilmiah dari guru ke murid secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode penelitian lapangan di Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) Yogyakarta. Teori enkulturasi dari Melville J. Herkovits digunakan untuk menganalisis budaya pesantren yang terjadi dalam praktik sorogan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses enkulturasi dalam sorogan dapat dianalisis melalui empat komponen utama: Pertama, Recipient, yaitu santri dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sorogan yang beragam, yang menunjukkan tingkat kesiapan dan daya adaptasi terhadap budaya ilmiah pesantren; Kedua, Agen, yakni guru sorogan yang berperan sentral dalam menanamkan pemahaman ilmu alat, metodologi berpikir, serta etos keilmuan; Ketiga, Media, yaitu praktik sorogan itu sendiri yang memungkinkan interaksi intensif antara santri dan guru dalam memahami teks; dan Keempat, budaya yang terpengaruh, berupa nilai-nilai akademik pesantren seperti kedisiplinan linguistik, pemahaman gramatikal (Nahwu-Shorof), dan cara berfikir fiqhiyyah yang ditransformasikan dari guru kepada santri melalui praktik langsung. Dengan demikian, sorogan terbukti menjadi sarana efektif bagi enkulturasi budaya keilmuan pesantren. [ Studies exploring sorogan as a mechanism for transmitting the intellectual culture of pesantren remain limited. In fact, this traditional method holds a distinctive role in sustaining scholarly traditions through direct, personalized teacher-student interaction. This research adopts a descriptive qualitative approach through fieldwork at Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) in Yogyakarta. Using Melville J. Herskovits’ theory of cultural enculturation, the study examines how sorogan serves as a medium for internalizing pesantren values. Data were collected via in-depth interviews, participatory observation, and document analysis. Findings reveal that the process of enculturation in sorogan can be understood through four interrelated components. First, the recipient—students from various regions and educational backgrounds—demonstrate differing levels of preparedness and capacity to absorb pesantren’s intellectual norms. Second, the agent—the teacher—functions as the primary transmitter of linguistic proficiency, reasoning methods, and ethical discipline. Third, the medium, namely sorogan itself, creates a structured yet flexible pedagogical space for deep text-based engagement. Lastly, the cultural imprint, seen in students’ growing competence in Arabic grammar, textual analysis, and contextualized fiqh reasoning, reflects the successful internalization of pesantren scholarly culture. These findings affirm sorogan as a vital process of intellectual and cultural reproduction within the pesantren tradition.]
IMPLEMENTASI TRADISI PONDOK PESANTREN DALAM MEMBENTUK KARAKTER SISWA DI MIS NU AL-UTSMANI PEKALONGAN Musa, Muhammad Maskur; Rahman, Muhammad Minanur; Nasarruddin, Razie Bin
Jurnal Suluh Pendidikan Vol 10 No 2 (2022): September 2022
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas HKBP Nommensen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36655/jsp.v10i2.782

Abstract

attitudes, feelings, words, and actions based on the principles of religion, law, manners, culture, and customs. Character must be owned by every human being, because character is an identity within a person and a differentiator from one person to another. Apart from being an identity, the character in a person is used as a guide in living life. The purpose of this study is to explain the implementation of the tradition of Islamic boarding schools in shaping the character of students at MIS NU Al-Utsmani Pekalongan. This research method uses descriptive qualitative, data collection through observation, interviews and documentation. The results of the study explain that the traditional values ​​of Islamic boarding schools in shaping character, these traditions are reflected through the learning carried out. MIS NU Al-Utsmani in his learning took several subjects in Islamic boarding schools such as the science of recitation, the book of Alala, and the book of Taklim Muta'alim. In addition, it is also reflected in activities such as praying, reading Asmaul Husna, praying Duha in congregation, and shaking hands with teachers. And the distinctive voices that exist in the Islamic boarding school every day continue to echo such as reading nadhoman alala books, tasrifan, imriti and Jurumiyah. The traditional values ​​of the Islamic boarding school can shape characters such as cognitive in students, discipline and most importantly religious character.