Penelitian yang meneliti sorogan sebagai praktik pewarisan budaya intelektual pesantren belum banyak dilakukan secara mendalam. Padahal, metode ini menyimpan kekhasan dalam mentransmisikan budaya ilmiah dari guru ke murid secara berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode penelitian lapangan di Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) Yogyakarta. Teori enkulturasi dari Melville J. Herkovits digunakan untuk menganalisis budaya pesantren yang terjadi dalam praktik sorogan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses enkulturasi dalam sorogan dapat dianalisis melalui empat komponen utama: Pertama, Recipient, yaitu santri dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sorogan yang beragam, yang menunjukkan tingkat kesiapan dan daya adaptasi terhadap budaya ilmiah pesantren; Kedua, Agen, yakni guru sorogan yang berperan sentral dalam menanamkan pemahaman ilmu alat, metodologi berpikir, serta etos keilmuan; Ketiga, Media, yaitu praktik sorogan itu sendiri yang memungkinkan interaksi intensif antara santri dan guru dalam memahami teks; dan Keempat, budaya yang terpengaruh, berupa nilai-nilai akademik pesantren seperti kedisiplinan linguistik, pemahaman gramatikal (Nahwu-Shorof), dan cara berfikir fiqhiyyah yang ditransformasikan dari guru kepada santri melalui praktik langsung. Dengan demikian, sorogan terbukti menjadi sarana efektif bagi enkulturasi budaya keilmuan pesantren. [ Studies exploring sorogan as a mechanism for transmitting the intellectual culture of pesantren remain limited. In fact, this traditional method holds a distinctive role in sustaining scholarly traditions through direct, personalized teacher-student interaction. This research adopts a descriptive qualitative approach through fieldwork at Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi-ien (PPKHM) in Yogyakarta. Using Melville J. Herskovits’ theory of cultural enculturation, the study examines how sorogan serves as a medium for internalizing pesantren values. Data were collected via in-depth interviews, participatory observation, and document analysis. Findings reveal that the process of enculturation in sorogan can be understood through four interrelated components. First, the recipient—students from various regions and educational backgrounds—demonstrate differing levels of preparedness and capacity to absorb pesantren’s intellectual norms. Second, the agent—the teacher—functions as the primary transmitter of linguistic proficiency, reasoning methods, and ethical discipline. Third, the medium, namely sorogan itself, creates a structured yet flexible pedagogical space for deep text-based engagement. Lastly, the cultural imprint, seen in students’ growing competence in Arabic grammar, textual analysis, and contextualized fiqh reasoning, reflects the successful internalization of pesantren scholarly culture. These findings affirm sorogan as a vital process of intellectual and cultural reproduction within the pesantren tradition.]