Apotek jaringan merupakan retail farmasi yang dikelola sebagai suatu kewirausahaan dengan aturan perundangan dan etik yang ketat. Orientasi kewirausahaan di tengah tingginya persaingan retail farmasi menuntut efisiensi dalam berbagai hal termasuk dalam pengadaan logistik kefarmasian obat. Efisiensi pengadaan obat berisiko pada pengabaian etik dan aturan pengelolaan obat di fasilitas pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengelolaan pengadaan logistik kefarmasian pada apotek jaringan dan merangkum berbagai kendala dan solusi yang dilakukan ditinjau dari sudut pandang etik dan peraturan mengenai pengadaan logistik kefarmasian di Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan selama bulan Juni 2024 melalui wawancara terstruktur menggunakan aplikasi telepon whatsapp terhadap informan tenaga kefarmasian praktek yang bertanggungjawab terhadap proses pengadaan obat pada empat apotek cabang dari tiga (3) apotek jaringan milik swasta dan satu (1) BUMN dan yang ada di wilayah Denpasar dan Badung. Data karakteristik informan dideskripsikan dan data proses pengadaan dikelompokkan menurut: praktek pengadaan, sistem/metode, ketersediaan dokumen mutu (standar operasional prosedur/SOP), informasi kendala dan solusi pengadaan, dan dilakukan kajian etik dan aturan terhadap implementasi pengadaan menggunakan Permenkes No 73 Tahun 2016, Permenkes No 9 Tahun 2017, dan PerBPOM No 24 Tahun 2021. Hasil penelitian menyatakan bahwa praktek pengadaan logistik pada semua apotek jaringan diatur dengan dokumen mutu standar operasional prosedur (SOP) namun hal bertentangan dinyatakan satu (1) apotek yang menyatakan pengadaan dilakukan tanpa menggunakan dokumen surat pesanan yang merupakan aturan pengadaan. Tiga (3) apotek menerapkan metode pengadaan obat mandiri ke distributor, satu (1) menyatakan pengadaan mandiri ke distributor dan pengajuan melalui cabang lain, dan satu (1) apotek menerapkan pengadaan melalui manajemen pusat dengan frekuensi waktu yang bervariasi dari harian, tiga hari per minggu, per minggu, dan per bulan. Semua apotek jaringan menerapkan sistem pengadaan pareto dan ABC dan metode konsumtif, epidemiologi, maupun kombinasinya. Kendala pada apotek jaringan swasta mandiri antara lain kekosongan stok pada distributor sedangkan apotek BUMN terkendala panjangnya alokasi waktu pengadaan akibat waktu tunggu persetujuan manajemen pusat. Solusi yang dilakukan dengan penelusuran distributor lain yang menyediakan obat serupa. Kajian ini menemukan adanya pengabaian etik dan peraturan perundangan terkait pengadaan yang dilakukan tanpa dokumen mutu SOP, SP, dan dilakukan tidak melalui distributor/PBF secara langsung. Permasalahan pengadaan di apotek jaringan memerlukan pertimbangan etik dan kepatuhan tenaga kefarmasian sehingga pengadaan obat bisa berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga adil terhadap penyelenggaraan retail apotek lain.