Studi ini mengkaji narasi trauma pasca-konflik dalam novel kontemporer Asia Tenggara, dengan fokus pada bagaimana memori dialogis dan waktu terfragmentasi berfungsi dalam memetakan pengalaman luka sosial. Berdasarkan pendekatan psikoanalitik dan teori memori, penelitian ini meneliti bagaimana teknik naratif—seperti fragmentasi waktu, pergeseran fokalisasi, dan analepsis/prolepsis terputus—digunakan untuk menggambarkan proses trauma dan pemulihan. Melalui close reading terhadap tiga novel terpilih yang berlatar konflik politik dan sosial di Asia Tenggara, penelitian ini menunjukkan bagaimana penulis membangun narasi yang tidak hanya menampilkan pengalaman pribadi korban, tetapi juga menegosiasikan ingatan kolektif yang terbentuk pasca-konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fragmentasi waktu dalam narasi menciptakan ketegangan antara kenangan pribadi dan memori sosial yang lebih luas, di mana waktu yang terputus-putus mencerminkan ketidakmampuan untuk mengintegrasikan pengalaman kekerasan dalam narasi yang utuh. Teknik fokalisasi berganda dan staging arsip (foto, dokumen, testimoni) memungkinkan pembaca untuk melihat trauma dari berbagai perspektif—baik individu, keluarga, maupun masyarakat luas. Di sisi lain, kesunyian atau ruang kosong dalam teks juga berfungsi sebagai indikator dari trauma yang tidak dapat diungkapkan, tetapi tetap hadir dalam ketidakhadirannya. Secara keseluruhan, penelitian ini menyarankan bahwa narasi trauma pasca-konflik di Asia Tenggara tidak hanya bertujuan untuk menceritakan kembali kekerasan yang terjadi, tetapi juga untuk membangun ruang dialogis yang memungkinkan rekonsiliasi memori antara yang terdampak dan masyarakat secara lebih luas. Implikasi teoretisnya adalah pentingnya memahami narasi pasca-konflik sebagai proses dinamis yang melibatkan dialog antara ingatan individu dan kolektif, serta perlunya pendekatan naratif yang sensitif terhadap ketegangan antara dokumentasi dan kesunyian dalam pengalaman trauma.