The regulation improvement through 64/PMK No.03/2022 affects the agricultural industry, one of which is the sugar industry. Agriculture as a strategic role in economic development leads to a great opportunity to increase government tax revenue. This study aims to determine the implementation of Value Added Tax by 64/PMK No.03/2022 for sugarcane milling services of MPG Sugar Factory. This study employs a qualitative method with an interpretive paradigm to understand phenomenology based on the description of the participants' experiences, involving data collected from in-depth interviews with respondents in charge of the implementation of VAT on milling services. The results of the study exhibit that MPG Sugar Factory does not pay VAT for milling services directly as this affair is the authority of PT. Perkebunan Nusantara X as the office of the directors. There is no evidence of VAT payments and withholds by MPG Sugar Factory for the delivery of sugarcane by farmers. MPG Sugar Factory is potentially subject to legal consequences. On the other hand, MPG Sugar Factory has actively implemented other tax policies such as PPh 22, PPh 23, and PPh 4 ayat 2. Abstract Penyempurnaan peraturan melalui 64/PMK No.03/2022 menjadi suatu fenomena yang berpengaruh terhadap industri pertanian salah satunya pada industri gula. Pertanian sebagai peran strategis dalam pembangunan ekonomi memiliki peluang besar dalam penambahan pemasukan pajak pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan 64/PMK No.03/2022 atas jasa giling tebu pada Pabrik Gula MPG. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpetatif memahami suatu fenomenologi berdasarkan deskripsi pengalaman partisipan. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dengan berbagai sumber yang berkaitan secara langsung terhadap penerapan PPN atas jasa giling. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Pabrik Gula MPG diketahui tidak melaksanakan pembayaran PPN atas jasa giling secara langsung. Hal ini terjadi karena segala sesuatu yang berkaitan dengan PPN atas jasa giling menjadi wewenang PT. Perkebunan Nusantara X selaku kantor direksi. Tidak ditemukan bukti bahwa Pabrik Gula MPG melakukan pembayaran serta pemotongan PPN atas penyerahan tebu oleh petani. Konsekuensi hukum pada dasarnya berpotensi diterima oleh Pabrik Gula MPG. Disisi lain, Pabrik Gula MPG telah aktif menerapkan kebijakan perpajakan lainnya seperti PPh 22, PPh 23, dan PPh 4 ayat 2.