Al Farisi Sutrisno, Muhammad
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Good Perinatal Outcome of Rhesus Incompatibility in Multigravida without Anti-D Injection Therapy: A Rare Case Report Husada, Abdillah; Lestari, Peby Maulina; Maritska, Ziske; Sari, Dian Puspita; Al Farisi Sutrisno, Muhammad; Stevanny, Bella
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 2 Juli 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i2.668

Abstract

Introduction: Rhesus (Rh) incompatibility problem arises exclusively when an Rh-positive male impregnates an Rh-negative female, resulting in maternal Rh sensitization to produce anti-D antibodies that can bind and destroy Rh-positive erythrocytes of the fetus. Hemolytic disease of the neonate due to Rh incompatibility ranges from self-limited hemolytic anemia to severe hydrops fetalis. Rh incompatibility can be prevented by administering anti-D injection therapy containing Rh Intravenous Immunoglobulin (RhIVIG). We report a rare case of good perinatal outcome of rhesus incompatibility in multigravida without anti-D therapy injection due to weak D phenotype.Case Illustration: A gravida 3, para 2 woman at 27 weeks gestation with Rh-negative blood type, who has not experienced any previous compatibility problems, came to our facility for routine antenatal care. The husband has an Rh-positive blood type with a Dd genotype (heterozygous), suggesting a 50% probability that the offspring will have an Rh-positive blood type. Laboratory results showed a negative Coombs test and weak D phenotype. The patient had never received an anti-D therapy injection in this pregnancy and her previous two pregnancies. None of her children developed hemolytic disease in the neonate. Ultrasonography showed a well-developed 27-week gestational age fetus with no major congenital disorders. The good perinatal outcomes of her children might be due to weak D phenotype. Pregnant women with weak D phenotype have fewer D antigens that can still result in Rh sensitization but not enough to cause serious complications to the fetus. Conclusion: Rhesus incompatibility with weak D phenotype can have good perinatal outcomes without anti-D injection therapy. Administration of Anti-D injection remains a viable option to prevent subsequent Rh alloimmunization.Inkompatibilitas Rhesus pada Multigravida dengan Luaran Perinatal Baik tanpa Terapi Injeksi Anti-D: Laporan KasusAbstrakPendahuluan: Masalah inkompatibilitas Rhesus (Rh) muncul secara eksklusif pada ayah Rh-positif dan ibu Rh-negatif, sehingga terjadi sensitisasi Rh ibu untuk menghasilkan antibodi anti-D yang dapat mengikat dan menghancurkan eritrosit janin yang Rh-positif. Penyakit hemolitik pada neonatus akibat ketidakcocokan Rh dapat berupa anemia hemolitik yang bisa sembuh sendiri hingga hidrops fetalis berat. Inkompatibilitas Rh dapat dicegah dengan pemberian terapi injeksi anti-D yang mengandung Rh Intravenous Immunoglobulin (RhIVIG). Kami melaporkan kasus langka dengan hasil perinatal yang baik inkompatibilitas rhesus pada multigravida tanpa injeksi terapi anti-D akibat fenotip D yang lemah.Ilustrasi Kasus: Seorang wanita gravida 3, para 2 pada usia kehamilan 27 minggu dengan golongan darah Rh-negatif, yang sebelumnya tidak mengalami masalah kompatibilitas, datang ke fasilitas kami untuk pemeriksaan antenatal rutin. Suami mempunyai golongan darah Rh-positif dengan genotipe Dd (heterozigot), sehingga kemungkinan keturunannya mempunyai golongan darah Rh-positif sebesar 50%. Hasil laboratorium menunjukkan tes Coombs negatif dan fenotipe D lemah. Pasien belum pernah menerima suntikan terapi anti-D pada kehamilan ini dan dua kehamilan sebelumnya. Semua anaknya tidak menderita penyakit hemolitik pada neonatus. Hasil USG menunjukkan janin usia kehamilan 27 minggu berkembang baik tanpa cacat bawaan mayor. Hasil perinatal yang baik mungkin disebabkan oleh lemahnya fenotip D. Ibu hamil dengan fenotip D yang lemah memiliki antigen D yang lebih sedikit sehingga masih dapat menyebabkan sensitisasi Rh, namun tidak cukup menyebabkan komplikasi serius pada janin.Kesimpulan: Inkompatibilitas rhesus dengan fenotip D lemah dapat memberikan outcome perinatal yang baik tanpa terapi injeksi anti-D. Injeksi Anti-D tetap dapat diberikan untuk mencegah aloimunisasi Rh di kemudian hari.Kata kunci: Fenotip D lemah, Imunoglobulin Rh, Inkompatibilitas rhesus, Multigravida, Terapi injeksi anti-D
Congenital Diaphragmatic Hernia Anomaly in Multigravida at 36 Weeks Gestation with One Previous Cesarean Section, Single Live Fetus, Cephalic Presentation: Case Report Putri, Asri Indriyani; Martadiansyah, Abarham; Bernolian, Nuswil; Al Farisi Sutrisno, Muhammad; Nisfita, Rizania Raudhah; Maharsi, Rahma
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 7 Nomor 2 Juli 2024
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia.v7i2.613

Abstract

Background: Case of a multigravida at 36 weeks of gestation with one previous cesarean section carrying a single fetus was diagnosed with diaphragmatic hernia. This case aims to address the challenges posed by this complex scenario of diaphragmatic hernia and the importance of specialized care to ensure optimal maternal and fetal outcomes.Case Report: Referred from Muhammadiyah Hospital Palembang, the patient at 36 weeks of gestation with G3P2A0 status present a single live fetus and was diagnosed with diaphragmatic hernia. Following prior midwife care where fetal heartbeats were not detected, the patient was referred to Dr. Mohammad Hoesin Central General Hospital Palembang. The management plan includes a one-week follow-up and folic acid, calcium carbonate, and iron supplementation.Discussion: Congenital diaphragmatic hernia (CDH) is a developmental defect causing diaphragmatic discontinuity, diagnosed prenatally with 40% to 90% accuracy via ultrasound. The treatment aims to minimize lung hypoplasia and reduce mortality, typically performed at 26-28 weeks for severe cases and 30-32 weeks for moderate ones. The optimal delivery timing for CDH remains controversial, with lung-to-head ratio as a widely used prognostic indicator.Conclusion: Congenital diaphragmatic hernia (CDH) exhibits lower survival rates on the right side (50% vs. 75%), with lung area to head circumference ratio (LHR) as a common prognostic parameter. Recent minimally invasive techniques like FETO aim to improve prognosis by reducing pulmonary hypoplasia and mortality.Laporan Kasus: Multigravida Hamil 36 Minggu Belum Inpartu Bekas Seksio Sesarea Satu Kali Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Dengan Anomali Kongenital Hernia DiafragmatikAbstrakLatar Belakang: Kasus multigravida hamil 36 minggu dengan riwayat operasi caesar janin tunggal hidup yang didiagnosis hernia diafragma. Tujuan laporan kasus ini untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh skenario kompleks hernia diafragma dan menunjukkan pentingnya perawatan khusus untuk memastikan hasil akhir ibu dan janin yang optimal.Laporan Kasus: Pasien usia kehamilan 36 minggu dengan status G3P2A0 janin hidup tunggal dengan diagnosis hernia diafragma dirujuk dari RS Muhammadiyah Palembang setelah sebelumnya diperiksa oleh bidan dan tidak terdeteksi detak jantung janinnya sehingga memerlukan rujukan ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Rencana penatalaksanaannya mencakup tindak lanjut selama satu minggu, bersamaan dengan suplementasi asam folat, kalsium karbonat, dan zat besi.Diskusi: Hernia diafragma kongenital (CDH) merupakan kelainan perkembangan yang menyebabkan diskontinuitas diafragma dan didiagnosis sebelum lahir dengan akurasi 40% hingga 90% melalui ultrasonografi. Tatalaksana bertujuan untuk meminimalkan hipoplasia paru-paru dan mengurangi angka kematian, biasanya dilakukan pada minggu ke 26 sampai 28 untuk kasus yang parah dan 30 - 32 minggu untuk kasus yang sedang. Waktu persalinan yang optimal untuk CDH masih kontroversial, dengan rasio paru-paru sebagai indikator prognosis yang banyak digunakan.Kesimpulan: Hernia diafragmatika kongenital (CDH) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah pada sisi kanan (50% vs. 75%), dengan rasio area paru terhadap lingkar kepala (LHR) sebagai parameter prognosis yang umum; teknik invasif minimal terkini bertujuan untuk meningkatkan prognosis dengan mengurangi hipoplasia paru dan kematian.Kata kunci: Hernia Diafragma Kongenital, Riwayat Operasi Caesar Sebelumnya, Multigravida