Mujiatun Ridawati
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Konsep Khiyar ‘Aib dan Relevansinya dengan Garansi Mujiatun Ridawati
TAFAQQUH Vol. 1 No. 1 (2016): Tafaqquh : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Ahwal Syahsiyah
Publisher : STIS DAFA MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70032/5b31p437

Abstract

Salah satu dari syarat sahnya melakukan akad jual beli yaitu adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa yang dikarenakan adanya cacat, sehingga jual beli dalam Islam mengatur adanya khiyar aib, yaitu Hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad. Lalu Bagaimanakah konsep khiyar aib? Dan Bagaimana relevansinya dengan garansi?Ketetapan adanya khiyar ini dapat diketahui secara terang-terangan atau secara implisit. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara implisit menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Menurut ulama fiqih, khiyar ‘aib berlaku sejak diktehui cacat pada barang dagang dan dapat diwarisi untuk ahli waris pemilik hak khiyar dengan ketentuan bahwa cacat tersebut berupa unsur yang merusak objek jual beli dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Adapun cacat-cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek jual beli dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang. Kata garansi berasal dari bahasa inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam ensiklopedia indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual, sedang peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi. Khiyar aib adalah hak untuk membatalkan atau meneruskan akad bila mana ditemukan aib (cacat), sedangkan garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual, Karena garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka garansi merupakan implementasi dari salah satu hukum Islam yaitu tentang pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat). Hal ini menunjukkan relevansi antara khiyar aib dengan garansi, karena kedua jenis penjaminan ini menitik beratkan pada adanya cacat pada barang yang memberikan hak khiyar pada pembeli untuk mendapatkan ganti rugi agar tidak terjadi ketidak relaan dalam transaksi jual beli.
Yad Amanah Dan Yad Dhamanah (Telaah Konsep Penghimpunan Dana Pada Produk Sistem WaâDiah) Mujiatun Ridawati
TAFAQQUH Vol. 1 No. 2 (2016): Tafaqquh : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Ahwal Syahsiyah
Publisher : STIS DAFA MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70032/zczy9b59

Abstract

Wadi'ah yang merupakan salah prinsip yang digunakan bank syari'ah dalam memobilisasi dana dalam masyarakat. Al-Wadi'ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Prinsip ini diterapkan pada produk giro. Prinsip wadiah yang dipakai adalah wadi ah yad dhamanah karena pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasinya hukumnya adalah sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank sebagai pihak yang dipinjami. Hal ini berbeda dengan wadi ah amanah dimana titipan tidak boleh dimanfaatkan. Permasalahannya adalah Bagaimana dan Kapan ganti rugi Yad amanah dan yad Dhamanah terjadi? Serta Bagaimana proses beralihnya status yad amanah menjadi yad Dhamanah? Menurut Wahbah Zuhaily wadi'ah berasal dari kata wada’a berarti meninggalkan atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. secara etimologi berarti harta yang dititipi kepada seseorang yang dipercayai untuk menjaganya. Ulama fikih telah sepakat bahwa wadi'ah sebagai salah satu akad dalam rangka saling tolong menolong (tabarru) sesama manusia. Alasan yang mereka kemukakan tentang setatus hukum wadi'ah dalam alQur’an dan Hadits. Dalam transaksi perbankan prinsip wadi'ah al amanah dapat diterapkan pada pemberian jasa safe deposit box yang merupakan jasa titipan dimana bank hanya menyediakan fasilitas penitipan, mengatur system administrasi untuk masuk dan keluar ruang fasilitas, sedangkan kunci diserahkan kepada nasabah , bank akan membebankan fee kepada nasabah atau pengguna fasilitas box tersebut. Dalam Wadi’ah Yad Dhamanah pengaplikasian produk ini harta barang yang dititipi boleh dan dimanfaatkan oleh yang menerima titipan. Dan tidak ada keharusan bagi penerima titipan (Bank) untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip (Nasabah). Pemberian bonus semacam jasa giro tidak boleh disebutkan dalam kontrak, dan jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan managemen bank syari'ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.Kesimpulannya adalah Ganti rugi terjadi pada wadi’ah yad Dhamanah apabila terjadi hal penerima titipan tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang kecuali dalam beberapa hal, di antaranya, Khianat, tidak hati-hati, barang titipan tercampur dengan barang titipan yang lain dan lain sebagainya.Terjadinya perubahan status wadi’ah yad amanah menjadi wadi’ah yad Dhamanah adalah apabila orang yang ditiitpi tidak memelihara barang titipan, mengingkari tata cara pemeliharaan barang titipan, menitipkan titipan kepada orang lain, menggunakan barang titipan, berpergian dengan menggunakan barang titipan, meminjam barang titipan atau memperdagangkannya, mengembalikan barang titipan tanpa seizin muwaddi’, dan mengingkari barang titipan.
Kebijakan Pengembangan Produk Perbankan Syariah Muaidi; Mujiatun Ridawati
TAFAQQUH Vol. 7 No. 2 (2022): Tafaqquh : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah dan Ahwal Syahsiyah
Publisher : STIS DAFA MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70032/y7rym294

Abstract

This study analyses the policies for developing Islamic banking in Indonesia by examining its history, prospects, supporting regulations, and comparisons with Islamic banking in Malaysia. The research employs a library research method, reviewing various written sources such as books, scholarly articles, academic journals, legislation, and official reports. The data were analyzed descriptively and qualitatively to understand the development, challenges, and opportunities in advancing Islamic banking in Indonesia. The findings indicate that the prospects for Islamic banking in Indonesia are highly promising in supporting the national economy. However, more autonomous and comprehensive regulations are needed to govern this sector effectively, including innovative policies from Bank Indonesia regarding supervision and development. Furthermore, specific regulations related to Islamic bonds, Islamic capital markets, and Islamic civil law are urgently required to strengthen the Islamic banking ecosystem. This study contributes strategic recommendations to establish a regulatory framework that supports the competitive and sustainable growth of Islamic banking in Indonesia.