Tasya Putri Nurhayat
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Perkembangan Makna Kata Mahid dalam QS. al-Baqarah [2] Ayat 222: Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce Tasya Putri Nurhayat; Muliadi, Muliadi; Wildan Taufiq
Jurnal Semiotika Quran Vol 4 No 2 (2024): Jurnal Semiotika-Q: Kajian Ilmu al-Quran dan Tafsir
Publisher : Program Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/jsq.v4i2.23469

Abstract

Era modern ini telah mendapat pandangan negatif terhadap al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran oreintalis yang menganggap bahwa al-Qur’an bersumber dari kitab agama lain seperti Yahudi. Namun, apabila memang al-Qur’an bersumber dari agama lain, mengapa al-Qur’an mengalami perkembangan makna tanpa merubah teks aslinya. Sedangkan kitab agama lain selalu mengalami perubahan teks demi menyesuaikan dengan zaman. Melihat permasalahan tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana perkembangan makna kata mahid dalam QS. al-Baqarah ayat 222, khususnya pada tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan tafsir Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim karya Zahgloul an-Najjar demi melihat perkembangan makna. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian kajian pustaka. Dengan demikian, didapatkan beberapa kesimpulan di antaranya: pertama, Pertama, Pierce memiliki teori semiotika yang didasarkan pada filsafat dan logika yang terkenal dengan teori tanda. Ketiga teori tanda tersebut muncul dari hubungan triadic tiga dimensi tanda, yaitu representamen, object, dan interpretant. Kedua, dengan analisis makna dapat diketahui bahwa kata mahid memiliki konsep dan makna yang Istimewa, sehingga tidak ada satu kata apapun yang mampu menggantikannya pada ayat 222 surah al-Baqarah. Ketiga, dalam tafsir saintifik, kata mahid selain menunjukan pada darah haid juga menjelaskan waktu haid dan tempat keluarnya haid. Keempat, dengan teori semiotika Pierce dapat diketahui, ternyata terdapat perkembangan makna kata mahid. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Fakhruddin ar-Razi yang hadir pada abad ke 12 dan penafsiran Zaghloul an-Najjar pada abad ke 20. Adapun hal yang paling menakjubkan adalah kehadiran perkembangan makna tanpa sedikitpun merubah teks aslinya. Hal inilah yang menunjukan al-Qur’an tidak sama bahkan tidak bersumber dari kitab agama lain.
Special Methods and Sources of Interpretation in Tafsir Al-Madzhari (Analysis of Surat Ad-Dhuha) Tasya Putri Nurhayat; Novi Nur Sholihat; Eni Zulaiha; Wildan Taufiq
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 8 No. 4 (2025)
Publisher : Perkumpulan Dosen Fakultas Agama Islam Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31943/afkarjournal.v8i4.1789

Abstract

Throughout Islamic history, there have been interpretations of the Qur'an that, instead of explaining Islamic law, have caused divisions among the people and even led to misunderstandings of Islamic teachings themselves. If examined further, the problem is caused by interpretations of the Qur'an in a way that deviates from the correct method and authentic sources. Seeing how important it is to know the methods and sources of interpretation in interpreting the Qur'an, this paper aims to discuss the specific methods and sources of interpretation, specifically in Tafsir Al-Madzhari by Qadi Muhammad. The approach used is a qualitative approach using a literature review in collecting data. The results of this study include: First, Qadi Muhammad Thanaullah Panipati was born in the city of Panipati. He is an expert in Fiqh and Hadith. Second, Qadi Muhammad's specific method in interpreting the Qur'an in Surah Ad-Dhuha is (1) mentioning the name of the surah at the beginning of the interpretation. (2) mentioning the type of surah (Makiyah/Madaniyah) and the number of verses in the surah. (3) including all verses from the surah being interpreted. (4) interpreting the Qur'an by explaining the reasons for the revelation of a letter or verse. (5) paying attention to the degree of hadith. (6) writing down the verse before interpreting it. (7) including the vocabulary or meaning of the verse. (8) interpreting using the rules of I'rab of the Qur'an. (9) using the munasabah of verses in interpreting the Qur'an. (10) explaining the meaning with the help of poetry. (11) mentioning the differences in Qira'at in the letter being interpreted. (12) mentioning the problems of fiqh. Third, the primary sources of interpretation in Al-Madzhari's interpretation of the Ad-Dhuha letter are eleven verses of the Qur'an without narrations, 23 Hadith of the Prophet, 15 Qaul Tabi'in. While the secondary sources of Al-Madzhari's interpretation of the Ad-Dhuha letter are four language rules, six sayings of the mufassirin and sufis, and one Arabic poem. Fourth, if viewed from the source of the interpretation, Al-Madzhari's interpretation falls into the category of interpretations based on the interpretations of the narrations (tafsir bil ma'tsur) because the narrations are more dominant than reason. Meanwhile, if we look at the tsaqafah and hadf mufassir, this interpretation is of a fiqh nature, because in addition to being a judge, he was also an expert in fiqh and hadith.