Era modern ini telah mendapat pandangan negatif terhadap al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran oreintalis yang menganggap bahwa al-Qur’an bersumber dari kitab agama lain seperti Yahudi. Namun, apabila memang al-Qur’an bersumber dari agama lain, mengapa al-Qur’an mengalami perkembangan makna tanpa merubah teks aslinya. Sedangkan kitab agama lain selalu mengalami perubahan teks demi menyesuaikan dengan zaman. Melihat permasalahan tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana perkembangan makna kata mahid dalam QS. al-Baqarah ayat 222, khususnya pada tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan tafsir Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim karya Zahgloul an-Najjar demi melihat perkembangan makna. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian kajian pustaka. Dengan demikian, didapatkan beberapa kesimpulan di antaranya: pertama, Pertama, Pierce memiliki teori semiotika yang didasarkan pada filsafat dan logika yang terkenal dengan teori tanda. Ketiga teori tanda tersebut muncul dari hubungan triadic tiga dimensi tanda, yaitu representamen, object, dan interpretant. Kedua, dengan analisis makna dapat diketahui bahwa kata mahid memiliki konsep dan makna yang Istimewa, sehingga tidak ada satu kata apapun yang mampu menggantikannya pada ayat 222 surah al-Baqarah. Ketiga, dalam tafsir saintifik, kata mahid selain menunjukan pada darah haid juga menjelaskan waktu haid dan tempat keluarnya haid. Keempat, dengan teori semiotika Pierce dapat diketahui, ternyata terdapat perkembangan makna kata mahid. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Fakhruddin ar-Razi yang hadir pada abad ke 12 dan penafsiran Zaghloul an-Najjar pada abad ke 20. Adapun hal yang paling menakjubkan adalah kehadiran perkembangan makna tanpa sedikitpun merubah teks aslinya. Hal inilah yang menunjukan al-Qur’an tidak sama bahkan tidak bersumber dari kitab agama lain.