ABSTRAKPraktik outsourcing di Indonesia menjadi strategi umum perusahaan untuk menekan biaya dan meningkatkan fleksibilitas kerja. Namun, praktik ini sering menimbulkan masalah ketidakadilan bagi pekerja, terutama terkait perlindungan hak-hak dasar seperti upah layak, kepastian hubungan kerja, dan jaminan sosial. Artikel ini membahas bagaimana hukum ketenagakerjaan Indonesia mengatur praktik outsourcing serta sejauh mana prinsip keadilan sosial diterapkan dalam perlindungan pekerja outsourcing. Fokus kajian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 517 K/Pdt.Sus-PHI/2019, yang menjadi preseden penting dalam perlindungan pekerja kontrak. Hasil kajian menunjukkan bahwa regulasi yang berlaku, seperti UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja, belum memberikan kepastian hukum yang memadai. Banyak perusahaan menggunakan celah hukum untuk menghindari tanggung jawab terhadap pekerja outsourcing. Putusan MA No. 517/2019 menyatakan bahwa pekerja yang menjalankan tugas inti perusahaan tidak boleh dikontrak melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan harus mendapat hak sebagaimana pekerja tetap, termasuk pesangon dan perlindungan PHK. Putusan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menempatkan prinsip keadilan sosial sebagai pertimbangan utama dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial. Putusan ini tidak hanya melindungi pekerja dalam kasus tersebut, tetapi juga menjadi dasar bagi pembaruan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil.Kata Kunci: Outsourcing; Keadilan Sosial;Hukum Ketenagakerjaan; Perlindungan Pekerja; Putusan Mahkamah Agung.