Aerotropolis yang menggambarkan bagaimana bandara dapat menjadi inti perkembangan kota dengan fasilitas pendukungnya. Dengan contoh Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta sebagai kasus nyata, bandara ini telah berkembang menjadi sebuah kota dengan aktivitas yang sibuk. Keberhasilan penerapan konsep aerotropolis dapat dilihat dari negara-negara maju. Namun, pengembangan aerotropolis juga menimbulkan potensi dampak negatif pada lingkungan. Di Kulon Progo, Indonesia, pengembangan aerotropolis berbasis Agroaerotropolis dilakukan di sekitar Bandara Yogyakarta International Airport dengan konsep SmartCity. Ini mencakup area persawahan, pedesaan, dan perbukitan. Penggunaan arsitektur hemat energi menjadi salah satu upaya untuk mengurangi dampak pemanasan global dalam pengembangan aerotropolis di Kulon Progo dan perkembangan CBD di Kota Wates. Penggunaan energi alternatif, desain yang responsif terhadap iklim, serta pendidikan dan kesadaran tentang efisiensi energi menjadi langkah kunci dalam mencapai tujuan penekanan emisi gas rumah kaca dan perlindungan lingkungan. Prinsip perancangan arsitektur hemat energi yang diterapkan pada bangunan perkantoran dalam konsep aerotropolis, termasuk konfigurasi bangunan, orientasi, fasad, sistem operasional, dan tingkat kenyamanan. Penggunaan energi terbarukan, seperti panel surya, dan sistem otomatis berperan penting dalam mencapai efisiensi energi yang tinggi. Selain itu, perhitungan penghematan energi menggunakan aplikasi EDGE sebagai ukuran keberhasilan pengembangan bangunan hemat energi. Diharapkan, penerapan arsitektur hemat energi dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan lingkungan dan pemanasan global dalam pengembangan aerotropolis di berbagai wilayah.