Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

FENOMENA ULTRAS DAN KEMUNDURAN SEPAKBOLA INDONESIA DALAM PODCAST BUBARKAN SEPAKBOLA DI INDONESIA: TINJAUAN WACANA KRITIS FAIRCLOUGH: THE ULTRAS PHENOMENON AND THE DECLINE OF INDONESIAN FOOTBALL IN THE PODCAST DISSOLVE FOOTBALL IN INDONESIA: A REVIEW OF FAIRCLOUGH'S CRITICAL DISCOURSE Ferdiansyah, Rafi; Athilla, Muflich Dhafa
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha Vol. 14 No. 4 (2024)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jpbsi.v14i4.86382

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena ultras dalam dunia sepakbola Indonesia dengan fokus pada dampak sosial yang timbul atas fanatisme suporter. Untuk memahami akar permasalahan dan narasi kebencian yang melingkupi fenomena tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sekaligus memanfaatkan analisis wacana kritis Norman Fairclough sebagai pendekatannya. Dalam hal ini, wacana dalam podcast Bubarkan Sepakbola di Indonesia oleh akun Musuh Masyarakat dianalisis untuk mengetahui unsur kebencian dan ketakutan yang dipersepsi oleh masyarakat sebagai status quo atas kekacauan moral dan etis dalam persepakbolaan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan enam data konkret dalam podcast yang memiliki wacana tertentu. Berdasarkan model tiga skema wacana kritis Fairclough, masing-masing wacana mengalami dimensinya masing-masing, yaitu dimensi tekstual, diskursif, dan dimensi sosial. Konklusi atas temuan tersebut adalah bahwa perilaku suporter yang brutal sebagian besar disebabkan oleh tradisi permusuhan antar kota yang telah mengakar, kegagalan dalam sistem manajemen klub yang tidak mengalami ruang komunikasi yang baik di kalangan fans, hingga sikap pihak keamanan yang terlalu intimidatif. Implikasi dari penelitian ini mengisyaratkan perlunya sebuah reformasi total dari persepakbolaan di Indonesia, baik dari manajemen setiap klub, asosiasi sepak bola nasional, hingga kesadaran kolektif tiap suporter.
Citra Salat yang Bergeser pada Poster Film Makmum: Ibadah Mistik, Skeptisisme Masyarakat, dan Semiotika Peircean Ferdiansyah, Rafi
GHANCARAN: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 7 No. 1 (2025)
Publisher : Tadris Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji representasi salat dalam poster film Makmum mengalami pergeseran makna menjadi ritual yang bernuansa mistik dan horor. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce. Data dikumpulkan melalui observasi visual terhadap elemen-elemen desain poster, kemudian dianalisis berdasarkan tiga kategori denotatum dalam kerangka sign semiotika Peircean; ikon, indeks, dan simbol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan elemen visual seperti ruang kosong, pencahayaan gelap, serta entitas misterius di belakang perempuan yang sedang salat membentuk interpretasi baru yang menyimpang dari makna spiritual salat itu sendiri. Konklusi dari penelitian ini menegaskan bahwa konstruksi tanda dalam poster Makmum telah membentuk makna alternatif yang sarat atmosfer horor, sehingga mengaburkan pemaknaan ibadah sebagai aktivitas yang damai dan menenangkan. Penelitian ini juga berkontribusi dalam mengkaji relasi antara visual populer dan representasi nilai-nilai keagamaan dalam konteks budaya visual kontemporer.
Suara yang Dibungkam, Alam yang Dijinakkan dalam Bekisar Merah: Membaca Metafora Ayam Bekisar, Gender, dan Ekologi melalui Naratologi Genette Ferdiansyah, Rafi; Pratiwi, Altisha Nabila; Pratiwi, Shelly Aulia
SULUK : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 7 No. 1 (2025): Maret
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/suluk.2025.7.1.90-115

Abstract

  Artikel ini mengkaji struktur naratif Bekisar Merah karya Ahmad Tohari melalui naratologi Genette yang dipadukan dengan perspektif ekofeminisme. Analisis difokuskan pada kategori naratif seperti order, mood/focalization, voice, frequency, dan duration. Hasilnya menunjukkan bahwa metafora ayam bekisar bukan sekadar simbol, melainkan hadir dalam tataran diegetis untuk mencerminkan nasib Lasi yang terombang-ambing antara desa dan kota, domestikasi dan kebebasan, subordinasi dan dominasi. Struktur temporal novel memperlihatkan bias antroposentris: order menekankan trauma manusia tetapi mengabaikan memori ekologis; frequency dan duration memberi ruang pada intrik politik serta psikologi Lasi, sementara proses ekologis direduksi menjadi citraan singkat. Focalization menyingkap keterasingan tokoh perempuan, sedangkan voice narator heterodiegetik yang mahatahu justru membungkam suara fauna dan alam, memosisikan mereka hanya sebagai latar simbolik. Polanya mengungkap interseksi dominasi patriarki dan penyingkiran ekologis, di mana keheningan bekisar dan feminisasi Karangsoga menjadi metafora ganda atas subordinasi gender sekaligus lingkungan. Dengan demikian, novel ini menghadirkan arsitektur naratif yang indah tetapi problematis, sehingga penting dibaca ulang secara etis-ekologis demi wacana sastra Indonesia yang lebih inklusif.
Main Character’s Inner Conflict in Brian Khrisna’s Kudasai: Freudian Psychoanalysis Ferdiansyah, Rafi; Sa'adah, Sufi Ikrima
SULUK : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Vol. 4 No. 2 (2022): September
Publisher : Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/suluk.2022.4.2.105-115

Abstract

This article aims to portray the inner conflict that Chaka, the main character in Brian Khrisna Kudasai, experienced. Chaka’s decision to leave his girlfriend and marry another woman caused him a strong regret leading to inner conflict when he meets the long-lost lover. The unexpected meeting put Chaka into a dilemma of choosing the past or maintaining the present. This study employs a psychological approach with Freudian psychoanalysis as the theoretical basis. With the descriptive qualitative method, the analysis maps the cause, the conflict point, and the effect on Chaka’s life. Chaka underwent an inner conflict due to his decision to leave Anet, his girlfriend, to marry Twindy. The conflict reaches its point when Chaka faces two choices: being with the dying Anet or the pregnant Twindy. Chaka’s failure to resolve his inner conflict causes him deep depression ending with his death.
Reading Batavia from the Water: Canals, Ports, and Hydrocolonialism in Iksaka Banu’s Novel Rasina Ferdiansyah, Rafi; Ayun, Kharisma Qurrota; Khasanah, Siti Uswatun
POETIKA Vol 13, No 2 (2025): Issue 2
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/poetika.v13i2.112196

Abstract

Eighteenth-century Batavia was often imagined as the Venice of the East, a city of canals that captivated the colonial rulers. However, behind this image, water became an arena where colonialism operated in the most subtle yet brutal ways. This study offers a hydro-colonial reading using Rasina as a starting point. A qualitative approach was adopted in this study, incorporating historical and textual analyses, with a Batavia map (1740–1760) serving as a visual reference for interpreting spatial representations. The focus of this study is not on land or fortresses, but on canals, docks, and coastlines as the arteries of the city that bind commodities, bodies, and archives into a single colonial machine. Through this lens, opium and slaves appear as two extreme faces of maritime logic. Opium became a commodity whose status could be negotiated, legal or contraband, simply by manipulating port documents. On the other hand, slaves were treated as voiceless bodies, reduced to lists of ownership and administrative stamps without room for negotiation. Rasina brings this paradox to life, showing how canals and ports became arenas of struggle between the official and shadow economies. The issue of Chinese identity further sharpened the hydro-colonial landscape of Batavia. The figures of Kapitan Cina, Kong Koan, and the Boedelkamer institution illustrate the ambiguous position of the Chinese community: the backbone of the urban economy and at the same time the object of strict control by the colonial bureaucracy. Cartographic maps of Batavia (1740-1760) reveal further that canals were not merely waterways, but lines of power that united ports, government centers, ethnic areas, and Ommelanden within a single water regime. This study concludes that Batavia was not a beautiful Venice of the East, but rather a hydro-colonial laboratory: a space where water, archives, and violence converged, forming a complex landscape of power while leaving behind a long trail of cultural scars.