Putusnya perkawinan dalam islam itu salah satunya karena perceraian. Perceraian merupakan suatu tindakan hukum yang akan melahirkan beberapa akibat hukum. Sebagaimana Pasal 144 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa terjadinya perceraian ialah dapat disebabkan adanya suami yang menalak maupun istri yang menggugat cerai sebagaimana dituangkan dalam Putusan Hakim. Mantan suami dimungkinkan memiliki kewajiban dalam rangka membiayai hidup mantan istrinya yang dinamakan Mut’ah, nafkah Iddah (apabila istrinya tersebut tak Nusyuz), dan nafkah terhadap anaknya. Penelitian disini mengkaji tentang pelaksanaan pemenuhan segala hak istri pada perkara cerai talak di Pengadilan Agama kota Palangka Raya, berdasarkan Putusan No. 212/Pdt.G/2024/PA.Plk serta untuk mengetahui, menjelaskan kendala-kendala dan upaya penyelesaiannya dalam pelaksanaan pemenuhan hak-hak istri pada perkara cerai talak di Pengadilan Agama Surabaya. Hasil penelitian ditemui bahwa pertimbangan Hakim mengenai penentuan segala hak istri setelah cerai ialah memperhatikan sisi nilai patut sekaligus nilai adil sekaligus melihat kemampuan dari mantan suami. Kendala dalam perwujudan segala hak bekas istri ialah ketidakhadiran bekas istri pada muka persidangan sehingga Majelis Hakim memutus perkara secara putusan “Verstek”. Kemampuan ekonomi dari bekas suami merupakan kendala tersendiri bagi majelis hakim karena bekas suami adalah keluarga miskin. Upaya dalam mengatasi kendala-kendala bila sudah diputus secara “Verstek” ada perlawanan berupa “Verzet” sehingga Termohon bisa meminta hak-haknya selama bisa membuktikan dalil-dalinya walaupun sudah diputuskan secara Verstek, segala hak istri tetap diberikan sebagaimana Perma Nomor 3 Tahun 2017. Majelis Hakim melaksanakan hak Ex-Officio demi menciptakan keadilan kedua belah pihak.