Kota sekunder memainkan peran strategis dalam sistem wilayah nasional sebagai simpul pertumbuhan di luar metropolitan, namun umumnya memiliki keterbatasan kapasitas tata ruang dan daya dukung lingkungan. Pangkalpinang, sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, adalah kota sekunder bercorak kepulauan yang mengalami tekanan signifikan akibat transisi ekonomi dari sektor agraris ke jasa dan perdagangan. Dalam dua dekade terakhir, kota ini menunjukkan pola ekspansi fisik yang semakin tersebar dan sulit dikendalikan, tanpa dukungan sistem diagnosis spasial yang komprehensif terhadap perubahan penggunaan lahan. Penelitian ini menggunakan metode Shannon Entropy untuk menganalisis perubahan keteraturan spasial berdasarkan dua perspektif utama berdasarkan kedekatan terhadap pusat kota (H'p) dan jaringan jalan (H'j), dengan cakupan tujuh kecamatan dalam rentang waktu 2000, 2010, dan 2024. Hasil menunjukkan peningkatan nilai entropy tertinggi di Bukit Intan H'p sebesar 0,3335 menjadi 0,5316 dan Gerunggang dari H'p: 0,3478 menuju 0,4608), yang mencerminkan desentralisasi pembangunan mengikuti struktur jaringan jalan. Pendekatan ini berhasil mengungkap wilayah-wilayah yang mulai kehilangan kontrol spasialnya, sekaligus menawarkan cara pandang baru dalam menilai tekanan terhadap ruang produktif. Temuan ini menjadi dasar penting dalam merumuskan kebijakan perlindungan terhadap kawasan dengan tekanan pembangunan tinggi, serta menyumbang pada pemahaman teoretis tentang arah transformasi ruang kota sekunder di kawasan kepulauan. Kata kunci: Kota sekunder; Pangkalpinang; Shannon Entropy, Spasial