Peran ganda (double burden) perempuan adalah kondisi perempuan dalam dua bagian domestik seperti, ibu rumah dan publik salah satunya dalam bidang politik. Perempuan zaman pra Islam terbelenggu oleh budaya patriaki, adat istiadat yang mengakar pada masyarakat Arab pada waktu itu. Mereka bagaikan barang komoditi yang diperjual-belikan. Ketika Islam datang, kedudukan mereka mulai menjadi mulia, hal ini terbukti dengan tidak ada larangan perempuan untuk bekerja berkiprah dalam ranah publik. Namun salah satu faktor penyebab kaum perempuan mengalami bias (ketimpangan) gender sehingga mereka belum setara adalah interpretasi teks-teks agama yang bias gender. Selama ini penafsiran al-Qur’an didominasi ideologi patriarki sebab kebanyakan mufasir adalah kaum laki-laki, sehingga kurang mengahargai kepentingan kaum perempuan terutama mufassir era klasik. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif metode tinjauan literatur, dengan mengaimat fenomena serta mengumpulkan data dan informasi dari berbagai literature relevan buku, teks dan sumber internet. A-Qur’an tidak secara langsung menyebut ayat-ayat double burden perempuan dalam al-Qur’an, tetapi ada indikasi al-Qur’an yang menyebutkan double burden dalam al-Qur’an itu sendiri seperti surah al-Qashas: 23. Melalui pendekatan hermeneutika Fazlur Rahman hasil dari kajian menyatakan bahwa surah al-Qashas: 23, salah satu surah yang tidak mempunyai asbabun nuzul, sehingga untuk melihat kondisi ayat pada waktu diturunkan harus memahami kondisi arab pada waktu itu. Oleh karena itu, surah al-Qashas: 23 ini merupakan syar’u man qabalana (syariat yag terjadi sebelum Nabi Muhammad), membolehkan perempuan bekerja dn berbaur dengan laki-laki, sehingga berdasarkan teori double movement jika diimpletasikan kepada zaman sekarang perempuan boleh berkarir berbaur denga laki-laki selama itu membawa manfaat, mafsadat dan kemaslahata. Tetapi ada etika yang harus diperhatikan oleh perempuan tersebut yakni izin suami serta menjaga kehormatannya.