Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri konsep sifat berlebih lebihan dalam penafsiran tafsir klasik dan kontemporer terhadap QS. al-Nisā/4:171, menganalisa penafsiran al-Nisā’/4:171 perspektif ma’nā cum-maghzā, serta mengetahui relevansi guluw dalam QS. al-Nisā’/4:171 di era kekinian. Penelitian ini berbasis kualitatif atau library search (kepustakaan) dengan menggunakan pendekatan teks dan konteks melalui kerangka ma’nā cum-maghzā yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin yaitu dengan mendeskripsikan guluw pada abad ke-7, Intratekstual dan Intertekstualitas (analisis linguistik), melihat historis secara mikro maupun makro dan mengungkap signifikansi ayat. Adapun hasil temuan dengan tinjauan analisis tekstual mengungkap guluw dalam QS. al-Nisā’/4:171 menjelaskan tentang sikap berlebih-lebihan, melampaui batas, keterlaluan, pemujaan, dan pengukultusan sehingga menjadikan seorang Nabi menjadi Tuhan yang mereka sembah. Dengan tinjauan analisis historis pada QS. al-Nisā’/4:171 menunjukkan awal mula munculnya perilaku tersebut karena adanya rasa kesombongan yang ada di hati para pemuka agama sehingga menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya dari kaumnya para Ahl Al-Kitab. Kemudian, melalui analisis tekstual dan konteks historis, sikap guluw yang terjadi di era kekinian ini dapat dilihat dari berlebihan dalam bermahabbah kepada seorang Habib, Kyai, dan Ustadz. Bahkan tak jarang sampai mengkultuskan mereka. Implikasi dari kajian tersebut bahwa QS. al-Nisā’/4:171 sebenarnya mampu menjadi solusi di tengah-tengah permasalahan masyarakat. Larangan untuk tidak bersikap berlebih-lebihan (guluw) dan anjuran untuk menyampaikan kebenaran yang terdapat pada QS. al-Nisā’/4:171 harus dikaji lagi agar memperoleh maksud utama ayat untuk konteks kekinian.