Prosesi nyongkolan pada adat merariq suku Sasak, menjadi proses panting sebagai salah satu aktivitas budaya, yang banyak menjadi sumber gagasan penciptaan karya seni, salah satunya ialah pada bidang seni visual. Kajian dalam tulisan ini, menggunakan teori representasi Stuart Hall dan kombinasi interpretasi dari kritikus Terry Barrett. Kombinasi dua kajian ini akan mengungkapkan bagaimana para seniman merepresentasikan adat nyongkolan dalam prosesi adat merariq menjadi subject matter dalam karya lukisnya. Beberapa temuan dalam tulisan ini, menerangkan bahwa representasi bahasa visual yang digunakan masing-masing perupa memiliki kecenderungan yang beragam dan terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing seniman, I Wayan Pengsong, Lalu Syaukani dan Satar Tacik melalui karyanya menghadirkan representasi tema nyongkolan dalam adat meraih suku Sasak, dengan bahasa ungkap yang dipengaruhi kuat oleh latar belakang psikobiografi masing-masing. I Wayan Pengsong menghadirkan Nyongkolan Tradisi nyongkolan sebagai sebuah budaya yang begitu meriah dengan arak-arakan manusia laki-laki, perempuan, tua dan muda. Keberadaan mempelai yang diarak menggunakan jaran sebagai representasi raja sehari. Komposisi warna, monokromatik, dengan teknik sapuan yang halus (tekstur semu). Lalu Syaukani, menghadirkan tradisi nyongkolan melalui representasi kecantikan dan ketampanan seorang terune sasak melalui berbagai pakaian adat yang digunakan. Satar Tacik menghadirkan tradisi nyongkolan melalui kemeriahan dengan iringan musik dan berbagai jenis iringan dan tarian yang digunakan dalam proses adat tersebut.