ANGGANI, A A SAGUNG RIA ARDHA
Unknown Affiliation

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

RESIKO GANGGUAN JIWA PADA PASANGAN DENGAN BENTUK PERNIKAHAN PADA GELAHANG ANGGANI, A A SAGUNG RIA ARDHA; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; ARIANI, NI KETUT PUTRI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4353

Abstract

In Balinese social customs, there are three types of marriage, namely ordinary marriage, nyentana marriage, and gelahang marriage. A gelahang marriage is a marriage where neither party says goodbye and both parties decide to maintain their status as kapurusa in fulfilling their obligations (swadharma) and rights (swadikara) in their respective families. Marriages in this gelahang are generally carried out because both parties are determined not to leave their families, so that ordinary marriages or nyentana marriages cannot occur. These social stressors can result in the risk of mental disorders in couples undergoing a marriage system. Several studies show that the use of a traditional marriage system, the use of an arranged marriage system, or marriages involving extended families pose a risk for the emergence of mental disorders in a person. A wedding at a gelahang requires the bride and groom to fulfill their obligations as kapurusa to each side of the family in fulfilling swadharma and self-sufficiency, and in carrying on ancestral traditions. This must be done equally by one side of the family and the other by the bridal couple who are carrying out the wedding at the gelahang. In a wedding at Gelahang, the burden of obligations on both sides of the family must be fulfilled so that the burden of obligations carried out increases on each side of the bride and groom. This can be an emotional and psychological stressor for brides and grooms who get married at Gelahang. Weddings carried out with various rituals are an illustration of the value in each procession undertaken. In many cultures, families have very high expectations of married couples. The pressure to live up to social standards can be overwhelming for couples. Marriage in a gelahang is a risk of mental disorders ABSTRAKDalam adat kemasyarakatan Bali, terdapat tiga jenis pernikahan yaitu pernikahan biasa, pernikahan nyentana, dan pernikahan pada gelahang. Pernikahan pada gelahang merupakan pernikahan dimana kedua belah pihak tidak ada yang melakukan mepamit dan kedua belah pihak memutuskan mempertahankan statusnya sebagai kapurusa dalam memenuhi kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) dalam masing-masing keluarga. Pernikahan pada gelahang ini umumnya dilakukan akibat kedua belah pihak bersih kukuh untuk tidak meninggalkan keluarganya, sehingga pernikahan biasa atau pernikahan nyentana tidak dapat terjadi. Stresor sosial ini dapat mengakibatkan munculnya risiko gangguan jiwa pada pasangan yang menjalani sistem pernikahan pada gelahang. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan sistem pernikahan secara tradisional, penggunaan sistem perjodohan, atau pernikahan yang melibatkan keluarga besar menjadi risiko munculnya gangguan jiwa pada seseorang. Pernikahan pada gelahang mewajibkan kedua belah pengantin untuk memenuhi kewajibannya sebagai kapurusa kepada masing-masing pihak keluarga dalam memenuhi swadharma dan swadikara, dan dalam meneruskan tradisi leluhur. Hal ini wajib dilakukan sama rata pada pihak keluarga satu dan yang lainnya oleh pasangan pengantin yang menjalankan pernikahan pada gelahang. pada pernikahan pada gelahang, beban kewajiban pada kedua belah pihak keluarga wajib dipenuhi sehingga beban kewajiban yang dijalankan bertambah pada masing-masih pihak pengantin. Hal ini yang dapat menjadikan stresor emosional dan psikologis kepada pengantin yang menjalankan pernikahan pada gelahang. Pernikahan yang dilakukan dengan berbagai ritual menjadi gambaran nilai dalam masing-masing prosesi yang dijalani. Dalam banyak budaya, keluarga memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap pasangan yang menikah. Tekanan untuk memenuhi standar sosial bisa sangat membebani pasangan. Pernikahan pada gelahang sebagai resiko terjadinya gangguan jiwa