Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

PREVALENSI TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RSUP PROF.DR. I.G.N.G NGOERAH TAHUN 2023 ARIANI, NI KETUT PUTRI; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; SITANGGANG, AMITA ROULI PURNAMA; SILAEN, REBECCA MUTIA AGUSTINA; YOSEF, HERMAN
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v4i1.2758

Abstract

The level of anxiety in breast cancer patients undergoing chemotherapy poses a risk of unfavorable outcomes. Based on data collected in 2019 from three electronic databases (PubMed, Web of Science, and Scopus), a total of 36 studies covering 16,298 breast cancer patients between 2000 and 2018 were included in the research. The prevalence of anxiety among breast cancer patients was 41.9% (CI: 95%), highlighting the significance of both psychological and physical factors in breast cancer patients. The objective of this study was to determine the prevalence of anxiety in breast cancer patients undergoing chemotherapy at Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah Hospital. This was an observational descriptive study with a cross-sectional design to assess the level of anxiety in breast cancer patients receiving chemotherapy in the hospital. Anxiety was measured using the Beck Anxiety Inventory (BAI). Out of the 42 participants in the study, it was found that 54.8% experienced minimal anxiety, 31.0% had mild anxiety, 9.5% had moderate anxiety, and 4.8% had severe anxiety. Patients with severe anxiety were mostly in the age range of 0-30 years (50%), had completed junior high school education (20%), were unemployed (5.6%), unmarried (20%), had comorbidities (5.6%), and received chemotherapy more than 10 times (20%). ABSTRAKTingkat kecemasan pada pasien kanker payudara yang sedang melakukan kemoterapi berisiko pada terjadinya peningkatan kondisi yang tidak mengutungkan. Prevalensi kecemasan pada pasien kanker payudara berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2019 dari tiga database elektronik (PubMed, Web of Science, dan Scopus) sebanyak 36 penelitian yang mencakup 16.298 pasien kanker payudara antara tahun 2000 dan 2018 terdaftar dalam penelitian tersebut, prevalensi kecemasan di antara pasien kanker payudara adalah 41,9% (CI: 95%) menunjukkan pentingnya faktor psikologis serta fisik pada pasien kanker payudara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kecemasan pada pasien kanker payudara yang sedang melakukan kemoterapi di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan rancangan cross-sectional untuk mengetahui tingkat kecemasan pada pasien kanker payudara yang melakukan kemoterapi di rumah sakit. Kecemasan diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut Beck Anxiety Inventory (BAI). Sebanyak 42 sampel yang mengikuti penelitian, didapatkan sebanyak 54,8% mengalami cemas minimal, 31,0% mengalami kecemasan ringan, 9,5% mengalami kecemasan sedang, dan 4,8% mengalami kecemasan berat. Pasien yang memiliki tingkat kecemasan berat sebagian besar adalah pada rentang umur 0-30 tahun (50%), tingkat pendidikan SMP (20%), tidak bekerja sebesar (5,6%), belum menikah (20%), dengan penyakit penyerta (5,6%), dan frekuensi kemoterapi >10 kali (20%)
TERAPI SENI PADA PASIEN DALAM PERAWATAN PALIATIF: SEBUAH LAPORAN KASUS WAHYUDIANTO, NUR; ARIANI, NI KETUT PUTRI; WARDANI, IDA AJU KUSUMA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 2 No. 3 (2023)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v2i2.2575

Abstract

Palliative care is a medical approach that aims to improve the quality of life of patients facing serious and incurable illnesses. Communication and expression of emotions in patients in palliative care is often a challenge. Art therapy has gained attention as an additional approach to helping patients overcome communication difficulties and express feelings. A 39 year old man suffering from advanced cancer. During hospitalization, patients often look sad, anxious and irritable. The art therapy chosen by the patient was drawing using drawing books and colored pencils as media. Art therapy sessions help patients feel calmer and reduce anxiety related to palliative care. The application of art therapy results in a marked improvement in the patient's ability to communicate and express emotions. Patients engage in various artistic media to convey feelings and thoughts that were previously difficult to articulate verbally. Art therapy has the potential to improve communication and emotional expression in patients undergoing palliative care. This approach can be an important complement to holistic care for patients with serious illnesses. ABSTRAKPerawatan paliatif merupakan pendekatan medis yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang menghadapi penyakit serius dan tidak dapat disembuhkan. Komunikasi dan ekspresi emosi pada pasien dalam perawatan paliatif sering kali menjadi tantangan. Art therapy telah mendapatkan perhatian sebagai pendekatan tambahan dalam membantu pasien mengatasi kesulitan komunikasi dan mengungkapkan perasaan. Seorang laki-laki berusia 39 tahun yang menderita kanker stadium lanjut. Selama dirawat di rumah sakit, pasien sering terlihat sedih, cemas dan mudah tersinggung. Art therapy yang dipilih oleh pasien adalah menggambar dengan media berupa buku gambar dan pensil warna. Sesi art therapy membantu pasien merasa lebih tenang dan mengurangi kecemasan terkait perawatan paliatif. Penerapan art therapy menghasilkan peningkatan yang nyata dalam kemampuan pasien untuk berkomunikasi dan mengekspresikan emosi. Pasien terlibat dalam berbagai media seni untuk menyampaikan perasaan dan pikiran yang sebelumnya sulit diartikulasikan secara verbal. Art therapy memiliki potensi untuk meningkatkan komunikasi dan ekspresi emosi pada pasien yang menjalani perawatan paliatif. Pendekatan ini dapat menjadi pelengkap penting dalam perawatan holistik bagi pasien dengan penyakit serius.
TERAPI CLOZAPINE PADA SKIZOFRENIA KATATONIK DENGAN KEHAMILAN: LAPORAN KASUS PUTRA, SURYA PRADNYANA; DARMAYASA, I MADE; ARYANI , LUH NYOMAN ALIT; ARIANI, NI KETUT PUTRI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i1.3033

Abstract

The use of clozapine in pregnant women with catatonic schizophrenia is still rarely reported and raises concerns regarding its safety. This study aims to describe the effectiveness and safety of using low-dose clozapine in pregnant women with catatonic schizophrenia. Case report of a 27 year old woman with catatonic schizophrenia who was given low dose clozapine therapy (6.25 mg/day) during the second trimester of pregnancy until delivery. The primary focus is on response to clozapine and pregnancy outcomes. Administration of low doses of clozapine resulted in significant improvements in patient communication without significant side effects. Although the dose is well below the common therapeutic dose, clozapine is effective in managing the symptoms of catatonia. The baby was born via caesarean section at 39 weeks 5 days of gestation with a weight of 3000 grams, a length of 48 cm, and an Apgar score of 8-9, without congenital abnormalities. Evaluation one month after delivery did not show any complications related to the use of clozapine in the mother and baby. The use of low-dose clozapine in this case represents a promising approach in managing catatonic schizophrenia during pregnancy, with good outcomes in both mother and baby. Clozapine appears to be effective even at very low doses, offering a balance between symptom management and fetal safety. However, further research is needed to confirm the long-term safety profile and effectiveness of low-dose clozapine in this population. ABSTRAKPenggunaan clozapine pada ibu hamil dengan skizofrenia katatonik masih jarang dilaporkan dan menimbulkan kekhawatiran terkait keamanannya. Studi ini bertujuan untuk menggambarkan efektivitas dan keamanan penggunaan clozapine dosis rendah pada pasien ibu hamil dengan skizofrenia katatonik. Laporan kasus seorang wanita berusia 27 tahun dengan skizofrenia katatonik yang diberikan terapi clozapine dosis rendah (6,25 mg/hari) selama kehamilan trimester kedua hingga persalinan. Fokus utama adalah pada respons terhadap clozapine dan hasil kehamilan. Pemberian clozapine dosis rendah menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam komunikasi pasien tanpa efek samping yang berarti. Meskipun dosisnya jauh di bawah dosis terapeutik umum, clozapine efektif dalam mengelola gejala katatonia. Bayi lahir melalui sectio caesaria pada usia kehamilan 39 minggu 5 hari dengan berat 3000 gram, panjang 48 cm, dan Apgar score 8-9, tanpa kelainan kongenital. Evaluasi satu bulan pasca persalinan tidak menunjukkan adanya komplikasi terkait penggunaan clozapine pada ibu dan bayi. Penggunaan clozapine dosis rendah pada kasus ini menunjukkan pendekatan yang menjanjikan dalam mengelola skizofrenia katatonik selama kehamilan, dengan hasil yang baik pada ibu dan bayi. Clozapine tampaknya efektif bahkan pada dosis yang sangat rendah, menawarkan keseimbangan antara manajemen gejala dan keamanan janin. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi profil keamanan jangka panjang dan efektivitas clozapine dosis rendah dalam populasi ini.
PERSPEKTIF BIOPSIKOSPIRITUAL PADA PASIEN PRURITUS SINE MATERIA SANTOSA, I KETUT ARYA; ARIANI, NI KETUT PUTRI; SETIONO, DENNIS PRISCILLA; TRISNOWATI, RINI; MAHARDIKA, I KOMANG ANA
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3433

Abstract

Pruritus Sine Materia is generalized pruritus without primary skin lession. It’s also catagorized as functional itch disorder or psychogenic pruritus. It is important to know the biopsychosociospiritual perspective as a psychiatrist in order to provide holistic therapy. Female, 40 years old, married, Moslem, lives in a boarding house, was consulted by a dermatovenerologist with Pruritus Sine Materia, complaints of itching without primary lesions since 3 months of marriage. She felt itchy in the local body area that is in contact with husband and his stuff. Skin test results are normal, without allergies. When she got married, she was surprised knowing that the husband's dog slept in the boarding room and on the mattress several times. There was saliva and dog urine on things in the room. The patient reminded his husband several times that they were Moslem, she hoped her husband would be aware of his behavior that was not according to religion. The patient is diagnosed with other somatoform disorder. She was prescribed antidepressant and benzodiazepine as pharmacological approach and got education, support, also behaviour therapies for her psychological capability to control the itch-scratch process. According to Islamic law, dogs are classified as extreme najis (mughallazhah), when they are exposed to sweat, saliva, feces and urine. Najis means ritually unclean, contact with it puts a Moslem in a state of impurity or disgust. The patient is faced with feelings of guilt because she does not carry out Islamic law properly. This causes negative religious coping related to the occurrence of anxiety and depression, which is a risk factor for psychogenic pruritus, Pruritus Sine Materia. It is important to understand the biopsychosociospiritual perspective to be able to determine the appropriate and holistic pharmacological and non-pharmacological treatment. ABSTRAKPruritus Sine Materia adalah pruritus generalisata tanpa lesi kulit primer. Ini juga dikategorikan sebagai gangguan gatal fungsional atau pruritus psikogenik. Pentingnya mengetahui pandangan biopsikosociospiritual sebagai seorang psikiater agar dapat memberikan terapi holistik. Sebuah studi kasus pada pasien wanita, 40 tahun, menikah, beragama Islam, tinggal di kos, berkonsultasi ke dokter kulit dengan Pruritus Sine Materia, keluhan gatal-gatal tanpa lesi primer sejak 3 bulan menikah. Dia merasa gatal di area tubuh yang bersentuhan dengan suami dan barang-barangnya. Hasil tes kulit normal, tanpa alergi. Saat menikah, ia terkejut mengetahui anjing milik suaminya beberapa kali tidur di kamar kos dan di kasur. Ada air liur dan urin anjing pada benda-benda di dalam ruangan. Pasien beberapa kali mengingatkan suaminya bahwa dirinya beragama Islam, ia berharap suaminya sadar akan perilakunya yang tidak sesuai agama. Pasien didiagnosis dengan gangguan somatoform lainnya. Dia diberi resep antidepresan dan benzodiazepin sebagai pendekatan farmakologis dan mendapatkan pendidikan, dukungan, serta terapi perilaku atas kemampuan psikologisnya dalam mengendalikan proses gatal-garuk. Menurut hukum Islam, anjing tergolong najis ekstrem (mughallazhah), jika terkena keringat, air liur, feses, dan urine. Najis berarti najis secara ritual, kontak dengan najis membuat seorang Muslim berada dalam keadaan najis atau jijik. Pasien dihadapkan pada perasaan bersalah karena tidak menjalankan syariat Islam dengan baik. Hal ini menyebabkan koping keagamaan yang negatif berhubungan dengan terjadinya kecemasan dan depresi yang merupakan faktor risiko terjadinya pruritus psikogenik, Pruritus Sine Materia. Penting untuk memahami perspektif biopsikosociospiritual untuk dapat menentukan pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis yang tepat dan holistik.
PERAN NUNAS BAOS DALAM PROSES BERDUKA UMAT HINDU BALI: STUDI KASUS TERAPI RELIGIUS DAN SPIRITUAL ARIANI, NI KETUT PUTRI; SANTOSA, I KETUT ARYA; MAHARDIKA, I KOMANG ANA; TRISNOWATI, RINI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i2.3442

Abstract

Grieving the death of a loved one is a universal experience influenced by cultural and spiritual factors. In Balinese Hindu culture, death is perceived as a temporary separation of the soul from the physical body, which shapes the grieving process. A notable ritual practiced among Balinese Hindus is nunas baos, a ceremony that enables family members to communicate with the deceased through a spiritual intermediary. This case study focuses on a 35-year-old Balinese woman navigating her grief after her father’s death and explores the impact of nunas baos on her emotional healing. The ritual involves specific prayers, offerings, and the presence of a medium, facilitating a connection between the living and the deceased. Observations revealed that nunas baos significantly aided the woman in processing her emotions, fostering a sense of comfort and resolution. By allowing her to express feelings of loss and receive messages purportedly from her father, the ceremony provided a framework for understanding her grief and moving toward acceptance. This study highlights the role of nunas baos within the broader context of spiritual therapy, emphasizing its potential benefits for mental health practices that incorporate cultural and religious values. As such, nunas baos not only serves as a coping mechanism for bereavement but also underscores the importance of integrating spiritual rituals into therapeutic approaches to enhance emotional well-being in culturally diverse contexts. ABSTRAKBerduka atas kematian orang yang dicintai merupakan pengalaman universal yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan spiritual. Dalam budaya Hindu Bali, kematian dianggap sebagai pemisahan sementara jiwa dari tubuh fisik, yang membentuk proses berduka. Ritual penting yang dipraktikkan di kalangan umat Hindu Bali adalah nunas baos, sebuah upacara yang memungkinkan anggota keluarga berkomunikasi dengan almarhum melalui perantara spiritual. Studi kasus ini berfokus pada seorang wanita Bali berusia 35 tahun yang menjalani kesedihannya setelah kematian ayahnya dan mengeksplorasi dampak nunas baos terhadap penyembuhan emosionalnya. Ritual ini melibatkan doa khusus, persembahan, dan kehadiran medium, yang memfasilitasi hubungan antara yang hidup dan yang meninggal. Pengamatan mengungkapkan bahwa nunas baos secara signifikan membantu wanita dalam memproses emosinya, menumbuhkan rasa nyaman dan resolusi. Dengan mengizinkannya mengungkapkan perasaan kehilangan dan menerima pesan yang konon berasal dari ayahnya, upacara tersebut memberikan kerangka untuk memahami kesedihannya dan bergerak menuju penerimaan. Studi ini menyoroti peran nunas baos dalam konteks terapi spiritual yang lebih luas, menekankan potensi manfaatnya bagi praktik kesehatan mental yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan agama. Dengan demikian, nunas baos tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme mengatasi duka tetapi juga menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan ritual spiritual ke dalam pendekatan terapeutik untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dalam konteks budaya yang beragam.
RESIKO GANGGUAN JIWA PADA PASANGAN DENGAN BENTUK PERNIKAHAN PADA GELAHANG ANGGANI, A A SAGUNG RIA ARDHA; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; ARIANI, NI KETUT PUTRI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4353

Abstract

In Balinese social customs, there are three types of marriage, namely ordinary marriage, nyentana marriage, and gelahang marriage. A gelahang marriage is a marriage where neither party says goodbye and both parties decide to maintain their status as kapurusa in fulfilling their obligations (swadharma) and rights (swadikara) in their respective families. Marriages in this gelahang are generally carried out because both parties are determined not to leave their families, so that ordinary marriages or nyentana marriages cannot occur. These social stressors can result in the risk of mental disorders in couples undergoing a marriage system. Several studies show that the use of a traditional marriage system, the use of an arranged marriage system, or marriages involving extended families pose a risk for the emergence of mental disorders in a person. A wedding at a gelahang requires the bride and groom to fulfill their obligations as kapurusa to each side of the family in fulfilling swadharma and self-sufficiency, and in carrying on ancestral traditions. This must be done equally by one side of the family and the other by the bridal couple who are carrying out the wedding at the gelahang. In a wedding at Gelahang, the burden of obligations on both sides of the family must be fulfilled so that the burden of obligations carried out increases on each side of the bride and groom. This can be an emotional and psychological stressor for brides and grooms who get married at Gelahang. Weddings carried out with various rituals are an illustration of the value in each procession undertaken. In many cultures, families have very high expectations of married couples. The pressure to live up to social standards can be overwhelming for couples. Marriage in a gelahang is a risk of mental disorders ABSTRAKDalam adat kemasyarakatan Bali, terdapat tiga jenis pernikahan yaitu pernikahan biasa, pernikahan nyentana, dan pernikahan pada gelahang. Pernikahan pada gelahang merupakan pernikahan dimana kedua belah pihak tidak ada yang melakukan mepamit dan kedua belah pihak memutuskan mempertahankan statusnya sebagai kapurusa dalam memenuhi kewajiban (swadharma) dan hak (swadikara) dalam masing-masing keluarga. Pernikahan pada gelahang ini umumnya dilakukan akibat kedua belah pihak bersih kukuh untuk tidak meninggalkan keluarganya, sehingga pernikahan biasa atau pernikahan nyentana tidak dapat terjadi. Stresor sosial ini dapat mengakibatkan munculnya risiko gangguan jiwa pada pasangan yang menjalani sistem pernikahan pada gelahang. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan sistem pernikahan secara tradisional, penggunaan sistem perjodohan, atau pernikahan yang melibatkan keluarga besar menjadi risiko munculnya gangguan jiwa pada seseorang. Pernikahan pada gelahang mewajibkan kedua belah pengantin untuk memenuhi kewajibannya sebagai kapurusa kepada masing-masing pihak keluarga dalam memenuhi swadharma dan swadikara, dan dalam meneruskan tradisi leluhur. Hal ini wajib dilakukan sama rata pada pihak keluarga satu dan yang lainnya oleh pasangan pengantin yang menjalankan pernikahan pada gelahang. pada pernikahan pada gelahang, beban kewajiban pada kedua belah pihak keluarga wajib dipenuhi sehingga beban kewajiban yang dijalankan bertambah pada masing-masih pihak pengantin. Hal ini yang dapat menjadikan stresor emosional dan psikologis kepada pengantin yang menjalankan pernikahan pada gelahang. Pernikahan yang dilakukan dengan berbagai ritual menjadi gambaran nilai dalam masing-masing prosesi yang dijalani. Dalam banyak budaya, keluarga memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap pasangan yang menikah. Tekanan untuk memenuhi standar sosial bisa sangat membebani pasangan. Pernikahan pada gelahang sebagai resiko terjadinya gangguan jiwa
ASPEK SPIRITUAL DAN PENGGUNAAN ‘SPIRITUAL HEALTH ASSESSMENT SCALE’ DALAM RAWATAN HOSPICE: ARTICLE REVIEW JIMMY, JIMMY; ARIANI, NI KETUT PUTRI; SUTRISNA, I PUTU BELLY; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; KURNIAWAN, LELY SETYAWATI; ARDANI, I GUSTI AYU INDAH
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4357

Abstract

The goal of hospice care is to relieve patient’s physical, psychological, social, and spiritual stress who are nearing the end of life, thereby ultimately improving the quality of life because hospice care views humans from a holistic perspective. Spirituality is a dynamic and essential aspect of humanity that includes the search for highest meaning, purpose in life, transcendence and connection with oneself, family and others which is manifested in beliefs, values, traditions and practices. This has had a positive impact that includes spiritual well-being, quality of life, adaptation, physical and psychological health which ultimately meets the needs of patients and families in finding meaning and purpose in life, restoring relationships and love and being able to accept death and maintain hope and support a dignified death. Mean center and Dignitiy psychotherapy has been tested as a psychotherapy that focuses on the patient's meaning and dignity. Spirituality is a concept that is not limited to religion and is a key concept in the care of terminal illness. Therefore, spiritual care is an important element of hospice care that significantly influences the quality of all care provided. The spiritual care guidance and assessment model was developed as a care guide in the fundamental and spiritual aspects of human beings in hospice care. Spiritual Health Assessment Scale (SHAS) is a scale developed to assess spiritual health that is used for the entire community and is not based only on religion which contains 3 domains in the form of self-development, self-actualization and self-realization. ABSTRAKTujuan dari perawatan hospice adalah untuk meringankan tekanan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual pasien yang mendekati akhir hidup sehingga pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup karena rawatan hospice memandang manusia dari sudut pandang holistik. Spiritual adalah aspek dinamis dan essensial dari kemanusiaan yang mencakup pencarian makna tertinggi, tujuan hidup, transendensi dan hubungan dengan diri sendiri, keluarga dan orang lain yang terwujud dalam keyakinan, nilai, tradisi dan praktik. Hal ini telah memiliki dampak positif yang mencakup kesejahteraan spiritual, kualitas hidup, adaptasi, kesehatan fisik dan psikologis yang akhirnya memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga dalam menemukan makna dan tujuan hidup, memulihkan hubungan dan cinta serta bisa menerima kematian dan mempertahankan harapan serta mendukung kematian yang bermartabat. Mean center and Dignitiy psychotherapy telah diuji sebagai psikoterapi yang berfokus pada makna dan martabat pasien. Spritual adalah konsep yang tidak terbatas pada agama dan konsep kunci dalam tanda penting dalam perawatan penyakit terminal. Oleh karena itu , perawatan spiritual merupakan elemen penting dari perawatan hospice yang secara signifikan mempengaruhi kualitas seluruh perawatan yang diberikan.Model panduan perawatan spiritual dan penilaian dikembangkan sebagai panduan perawatan dalam aspek fundamental dan spiritual manusia dalam perawatan hospice. Spiritual Health Assessment Scale (SHAS) merupakan skala yang dikembangkan untuk mengkaji kesehatan spiritual yang digunakan untuk seluruh masyarakat dan tidak berdasarkan hanya pada agama yang berisi 3 dormain berupa pengembangan diri, aktualisasi diri dan realisasi diri
HUBUNGAN SPIRITUAL WELL-BEING DENGAN GEJALA MENOPAUSE TULUS, ANGELINA; DARMAYASA, I MADE; ARIANI, NI KETUT PUTRI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4358

Abstract

Spirituality has become an essential part of human life, yet it still raises various questions regarding its relationship with health. Spiritual well-being indicates a person’s quality of life in terms of spiritual dimensions or serves as an indicator of an individual’s spiritual health. In 2016, 7.4% of women in Indonesia were menopausal, and by 2020, this was projected to reach 11.54%, with an average menopause age of 49 years. The Study of Women's Health Across the Nation in the United States found that menopause is associated with psychological stress. Approximately 28.9% experienced stress in early perimenopause, 20.9% during perimenopause, and 22% post-menopause. Menopause triggers physical and psychological symptoms, causing women to experience various complaints. Good spiritual well-being is associated with lower anxiety and depression and a higher quality of life. Spiritual Well-Being (SWB) arises from a state of spiritual health and manifests as overall well-being. SWB is an indication of a person’s quality of life in terms of spiritual dimensions or an indicator of their spiritual health. The spiritual element has a positive relationship with emotional responses. Spirituality affects the limbic and autonomic nervous systems, creating pleasant feelings and stimulating GABA and endorphins. Spiritual experiences can influence neurotransmitters in the brain, such as serotonin, dopamine, and oxytocin. Serotonin and dopamine are linked to feelings of happiness and satisfaction, while oxytocin is associated with empathy and social interaction. Menopause is defined as one year without menstruation due to a decrease in estrogen production. Although some women are asymptomatic, estrogen deficiency can cause hot flushes, sweating, insomnia, and vaginal dryness and discomfort in nearly 85% of menopausal women. This state is often referred to as the “change of life.” Spirituality has a significant relationship with the severity of menopause symptoms, including mood, cognition, vasomotor, and sexual symptoms. Spiritual well-being is related to menopausal symptoms. ABSTRAKSpiritualitas telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, namun masih menimbulkan berbagai pertanyaan terkait hubungannya dengan kesehatan. Spiritual well-being atau kesejahteraan spiritual menjadi indikasi kualitas hidup seseorang dari segi dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan spiritual seseorang. Pada tahun 2016, di Indonesia terdapat 7,4% wanita menopause dari total populasi dan tahun 2020 diperkirakan mencapai 11,54% dengan usia rata-rata menopause 49 tahun. Hasil Study of Women’s Health Across the Nation di Amerika Serikat menunjukkan bahwa masa menopause berhubungan dengan tekanan psikologi. Sebanyak 28,9% mengalami stres diawal premenopause, 20,9% pada premenopause, dan sebanyak 22% pada post menopause. Menopause memunculkan gejala fisik maupun psikis yang membuat wanita mengalami berbagai macam keluhan. Kesejahteraan spiritual yang baik dikaitkan dengan kecemasan dan depresi yang lebih rendah, dan kualitas hidup yang lebih baik. Spiritual Well Being (SWB) adalah situasi yang muncul dari keadaan kesehatan spiritual dan tampak melalui kesehatan yang baik. SWB menjadi indikasi kualitas hidup seseorang dari dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan spiritual seseorang. Unsur spiritual memiliki hubungan positif terkait dengan respons emosional. Spiritualitas memengaruhi sistem limbik dan saraf otonom, sehingga menghasilkan suasana perasasan yang menyenangkan dan merangsang GABA dan endorfin. Pengalaman spiritual dapat memengaruhi neurotransmitter dalam otak seperti serotonin, dopamin, dan oksitosin. Serotonin dan dopamin terkait dengan perasaan bahagia dan kepuasan, sementara oksitosin terkait dengan empati dan interaksi sosial. Menopause didefinisikan sebagai satu tahun tanpa menstruasi dikarenakan semakin berkurangnya produksi estrogen. Meskipun beberapa perempuan asimtomatik, defisiensi estrogen dapat menyebabkan gejolak hot flushes, berkeringat, insomnia, kekeringan dan ketidaknyamanan pada vagina pada hampir 85% perempuan menopause. Keadaan ini sering disebut “change of life”. Spiritual memiliki hubungan signifikan pada keparahan menopause, yaitu dari gejala mood, kognisi, vasomotor dan seksual. Spiritual well-being memiliki hubungan dengan gejala menopause.
HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN STRES PASKA TRAUMA DENGAN KUALITAS HIDUP PADA TENAGA KESEHATAN PENYINTAS COVID-19 DI RSUP PROF. DR. I G.N.G. NGOERAH DAMARNEGARA, ANAK AGUNG NGURAH ANDIKA; ARIANI, NI KETUT PUTRI; LESMANA, COKORDA BAGUS JAYA; PUTRA, I WAYAN GEDE ARTAWAN EKA; ARYANI, LUH NYOMAN ALIT; WAHYUNI, ANAK AYU SRI; KURNIAWAN, LELY SETYAWATI
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 4 No. 4 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v4i4.4391

Abstract

The COVID-19 pandemic has had a significant impact on the mental health of health workers, including Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), which negatively affects their quality of life. This study aims to determine the prevalence of PTSD, quality of life, and the relationship between PTSD and quality of life in health workers who are COVID-19 survivors at Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah General Hospital. This analytical observational study used a cross-sectional design with the PCL-5 and WHOQOL-BREF questionnaires in 188 health workers from July to October 2022. The results showed a prevalence of PTSD of 10.1%. The overall quality of life was mostly in the good category (62.8%), but there were respondents with very poor (0.5%) and poor (3.2%) quality of life. In the physical health domain, the quality of life was mostly in the moderate category (61.7%), while the psychological, social relationships, and environmental domains showed variations in moderate to good quality of life with several respondents in the very poor category (0.5%). Analysis showed a trend towards worse overall quality of life in subjects with GSPT compared to those without (P<0.002). In conclusion, there is a significant relationship between GSPT and overall quality of life, although it does not apply to each domain of quality of life specifically. GSPT can reduce the overall quality of life of COVID-19 survivor health workers. ABSTRAKPandemi COVID-19 memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan mental tenaga kesehatan, termasuk Gangguan Stres Pasca Trauma (GSPT), yang memengaruhi kualitas hidup mereka secara negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi GSPT, kualitas hidup, serta hubungan antara GSPT dan kualitas hidup pada tenaga kesehatan penyintas COVID-19 di RSUP Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Penelitian observasional analitik ini menggunakan desain potong lintang dengan kuesioner PCL-5 dan WHOQOL-BREF pada 188 tenaga kesehatan dalam periode Juli hingga Oktober 2022. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi GSPT sebesar 10,1%. Kualitas hidup keseluruhan terbanyak berada pada kategori baik (62,8%), tetapi terdapat responden dengan kualitas hidup sangat buruk (0,5%) dan buruk (3,2%). Dalam domain kesehatan fisik, kualitas hidup terbanyak berada pada kategori sedang (61,7%), sedangkan domain psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan menunjukkan variasi kualitas hidup sedang hingga baik dengan beberapa responden pada kategori sangat buruk (0,5%). Analisis menunjukkan kecenderungan kualitas hidup keseluruhan yang lebih buruk pada subjek dengan GSPT dibandingkan yang tidak (P<0,002). Kesimpulan, terdapat hubungan signifikan antara GSPT dan kualitas hidup keseluruhan, meskipun tidak berlaku pada masing-masing domain kualitas hidup secara spesifik. GSPT dapat menurunkan kualitas hidup tenaga kesehatan penyintas COVID-19 secara keseluruhan.
EFEKTIVITAS COGNITIVE AND BEHAVIORAL INTERVENTIONS DALAM MENGURANGI RASA TAKUT JATUH (FEAR OF FALLING) PADA PASIEN LANJUT USIA: SEBUAH LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI Putri, Dewa Ayu Dwi Megantari; Widyarini, I Gusti Agung Ayu; Aji, I Putu Dharma Krisna; Ardani, I Gusti Ayu Indah; Ariani, Ni Ketut Putri
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i1.4991

Abstract

Elderly individuals have a high risk of falling along with declining physical condition. This decline in physical condition can result in the emergence of a fear of falling which then has an impact on various psychological problems. This can reduce the quality of life of individuals, so further intervention is needed to reduce psychological problems related to falling. Therefore, this evidence-based case report was compiled to determine the effectiveness of cognitive and behavioral therapy interventions in elderly individuals who have a fear of falling. Methods: Article searches were conducted in five scientific journal databases, namely PubMed, Wiley Online Library, Google Scholar, EbscoHost, and Cochrane. Article searches were conducted with specific keywords to obtain appropriate results. Study selection was carried out using predetermined inclusion and exclusion criteria. Results: From the selection process, 1 systematic review study was obtained that was in accordance with the clinical question. The study showed moderate but significant results in reducing fear after short-term intervention (SMD: ?0.30, 95% CI ?0.50, ?0.10) and in the long term (SMD: ?0.29, 95% CI (?0.49, ?0.09). Conclusion: Cognitive and behavioral interventions can be an intervention option to overcome fear of falling in the elderly. ABSTRAKIndividu lanjut usia memiliki resiko jatuh yang tinggi seiring dengan menurunnya kondisi fisik. Penurunan kondisi fisik ini dapat mengakibatkan munculnya rasa takut jatuh yang kemudian berdampak pada berbagai masalah psikologis. Hal tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pada individu, sehingga sangat diperlukan intervensi lebih lanjut untuk mengurangi masalah psikologis terkait dengan jatuh. Oleh karena itu, laporan kasus berbasis bukti ini disusun untuk mengetahui efektivitas intervensi terapi kognitif dan perilaku pada individu lanjut usia yang memiliki rasa takut jatuh (fear of falling). Metode: Pencarian artikel dilakukan di lima database jurnal ilmiah yaitu PubMed, Wiley Online Library, Google Scholar, EbscoHost, dan Cochrane. Pencarian artikel dilakukan dengan kata kunci spesifik untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Seleksi studi dilakukan dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan. Hasil: Dari proses seleksi didapatkan 1 studi tinjauan sistematis yang sesuai pertanyaan klinis. Studi menunjukan hasil pengaruh sedang namun signifikan di dapatkan pada penurunan rasa takut setelah dilakukan intervensi jangka pendek (SMD: ?0.30, 95% CI ?0.50, ?0.10) dan pada jangka panjang (SMD: ?0.29, 95% CI (?0.49, ?0.09). Kesimpulan: Intervensi kognitif dan perilaku dapat menjadi pilihan intervensi untuk mengatasi rasa takut jatuh pada lanjut usia.