Driven pile foundations are critical structural elements that transfer loads from superstructures to deeper soil layers with sufficient bearing capacity. In geotechnical engineering practice, the axial bearing capacity of piles can be estimated through empirical approaches or interpreted from results of static axial load testing. This study aims to compare the axial bearing capacity calculated using empirical methods (Meyerhof, Vesic, and O’Neill & Reese for Qp; Tomlinson for Qs) with the interpreted results from static load tests using the Chin and Mazurkiewicz methods. The analysis was conducted at two project sites - Palembang and Malinau - both characterized by cohesive soil profiles. The results indicate that in Palembang, the deviation between empirical methods and interpreted values ranges from 58% to 65%, reflecting a significant difference. Conversely, in Malinau, the deviation is smaller, ranging from 6% to 32%, suggesting that the empirical predictions are relatively closer to the field test results. Among the three empirical methods evaluated, Vesic’s + Tomlinson demonstrated the lowest deviation from the interpreted values at both locations, making it the most accurate empirical approach in this study. These findings highlight the importance of validating empirical calculations with field data to ensure safe and efficient pile foundation design Abstrak Fondasi tiang pancang merupakan elemen struktur bawah yang berperan penting dalam menyalurkan beban struktur atas ke lapisan tanah yang memiliki daya dukung memadai. Dalam praktik rekayasa geoteknik, perhitungan daya dukung aksial tiang dapat dilakukan melalui pendekatan empiris maupun interpretatif berdasarkan hasil uji pembebanan aksial tekan statik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil perhitungan daya dukung aksial menggunakan metode empiris (Meyerhof, Vesic, serta O’Neill & Reese untuk Qp; Tomlinson untuk Qs) dengan hasil interpretasi uji beban menggunakan metode Chin dan Mazurkiewicz. Studi dilakukan pada dua lokasi proyek, yaitu Palembang dan Malinau, yang keduanya memiliki karakteristik tanah kohesif. Hasil analisis menunjukkan bahwa di lokasi Palembang, deviasi antara hasil empiris dan interpretasi berada pada kisaran 57.85% hingga 65.81%, mengindikasikan adanya perbedaan yang cukup besar. Sementara itu, di lokasi Malinau, deviasi tercatat lebih kecil, yaitu antara 6.39% hingga 31.56%, menandakan hasil empiris relatif mendekati hasil uji lapangan. Dari ketiga metode empiris yang diuji, Vesic’s + Tomlinson menunjukkan deviasi terkecil terhadap hasil interpretasi di kedua lokasi, menjadikannya sebagai pendekatan empiris paling akurat dalam studi ini. Temuan ini menegaskan pentingnya validasi perhitungan empiris dengan data uji lapangan untuk menghasilkan desain fondasi yang aman dan efisien.