Gilberto Ingot Manuel Simaremare
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA TERHADAP LGBTQ DI INDONESIA DAN NIGERIA Reza Tri Mahendra; Muhammad Ilham Adi Nugroho; Gilberto Ingot Manuel Simaremare; Akbar Hidayat Fu Aditya; Asep Suherman
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 10 No. 12 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v10i12.11491

Abstract

This think about points to compare the discipline for LGBTQ in Nigeria and Indonesia so that likenesses and contrasts can be drawn between the two legitimate frameworks. This think about could be a regulating think about employing a comparative method. This consider found that: To begin with, there are similitudes within the legitimate frameworks embraced, to be specific both follow to colonial legacy law, customary law, and Islamic law (Sharia). With respect to Sharia Law, the Sharia criminal law embraced within the northern states of Nigeria and through the Sharia Territorial Regulation in a few locales of Indonesia, specifically the Aceh Area which is based on Extraordinary Independence, permits the area to make territorial controls based on Islamic Law (Sharia). Besides, there are likenesses in terms of discipline beneath Sharia Law for Nigeria and Indonesia, to be specific both apply caning, but for male sexual intercut which can be rebuffed by stoning to passing beneath Nigerian Sharia Law. Moment, there are contrasts within the indictment of LGBTQ individuals based on appropriate national laws. In Nigeria, beneath the Criminal Code, anybody who has sexual intercut with another man or with a lady through butt-centric intercut is subject to a jail sentence of 14 a long time. In Indonesia, beneath the current Criminal Code, it as it were forbids gay person acts between grown-ups and children of the same sex. At that point within the 2023 Criminal Code, gay person sex requires it to be wiped out open or distributed as explicit substance or with viciousness. On the other hand, gay person behavior (between 2 adults) without impelling (with the assent of both) isn't considered a wrongdoing. Pemikiran ini bertujuan untuk membandingkan disiplin LGBTQ di Nigeria dan Indonesia sehingga persamaan dan perbedaan dapat ditarik antara kedua kerangka hukum yang sah tersebut. Pemikiran ini dapat menjadi pemikiran yang mengatur dengan menggunakan metode perbandingan. Pemikiran ini menemukan bahwa: Pertama-tama, terdapat kesamaan dalam kerangka hukum yang dianut, khususnya keduanya mengikuti hukum warisan kolonial, hukum adat, dan hukum Islam (Syariah). Mengenai Hukum Syariah, hukum pidana Syariah yang dianut di negara bagian utara Nigeria dan melalui Peraturan Teritorial Syariah di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Daerah Aceh yang didasarkan pada Kemerdekaan Luar Biasa, memungkinkan daerah tersebut untuk membuat kontrol teritorial berdasarkan Hukum Islam (Syariah). Selain itu, terdapat kesamaan dalam hal disiplin berdasarkan Hukum Syariah untuk Nigeria dan Indonesia, khususnya keduanya menerapkan hukuman cambuk, tetapi untuk hubungan seksual laki-laki yang dapat ditolak dengan rajam hingga menjalani Hukum Syariah Nigeria. Kedua, terdapat perbedaan dalam dakwaan terhadap individu LGBTQ berdasarkan hukum nasional yang berlaku. Di Nigeria, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, siapa pun yang melakukan hubungan seksual dengan pria lain atau dengan wanita melalui hubungan seks anal dapat dikenai hukuman penjara selama 14 tahun. Di Indonesia, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saat ini, hanya melarang tindakan homoseksual antara orang dewasa dan anak-anak dengan jenis kelamin yang sama. Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023, hubungan seksual homoseksual mengharuskannya dilakukan secara terbuka atau disebarkan sebagai konten eksplisit atau dengan kekerasan. Di sisi lain, perilaku homoseksual (antara dua orang dewasa) tanpa paksaan (dengan persetujuan keduanya) tidak dianggap sebagai kejahatan.
PENYELESAIAN DELIK PERZINAHAN MENURUT ADAT MELAYU DI KAMPUNG MELAYU KOTA BENGKULU Reza Tri Mahendra; Muhammad Ilham Adi Nugroho; Gilberto Ingot Manuel Simaremare; Akbar Hidayat Fu Aditya; Ria Anggraeni Utami
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 12 No. 1 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v12i1.12652

Abstract

Bengkulu Province still holds fast to its customs and is rich in ethnic groups. With the diversity of ethnic groups, the author is interested in researching one of the ethnic groups in Bengkulu Province, namely the Malay ethnic group, especially the Malay ethnic group who live or reside in Bengkulu City. Bengkulu City has four types of customs, but this study only focuses on Malay Customs related to violations related to adultery in Malay customs that apply in Bengkulu City. Bengkulu City consists of 9 (nine) sub-districts and 67 villages, but in this study it is limited to only occupying the Kampung Melayu area. The purpose of this study is to determine and describe the resolution of customary violations related to adultery according to the Malay customs of Bengkulu City and to determine and describe the form of sanctions for customary violations related to morality according to the Malay customs of Bengkulu City. The research method used in this study uses empirical legal research and an empirical legal approach, namely a non-doctrinal approach. The results of the study on the resolution of customary violations related to adultery in the Malay customs of Bengkulu City are reports from residents, reports to the village head, summons or notification of customary officials, customary hearings, decisions of deliberations at the customary council, and implementation of customary ceremonies. The form of sanctions for customary violations related to adultery according to the Malay customs of Bengkulu City is that the perpetrator of the customary violation apologizes to the victim, the victim's family and the community for the actions he has committed, makes a letter of agreement aimed at preventing the perpetrator from repeating his actions again and gives a warning to others so that the same violation does not occur, pays customary fines, cleans the village, marries, and is expelled or exiled to another area. The conclusion and suggestion in this study is that the Bengkulu City Regional Government is expected to immediately establish regional regulations on customs, and each village is expected to make customary regulations or customary village regulations for their respective village areas.Provinsi Bengkulu masih memegang teguh adat istiadatnya dan kaya akan suku bangsa. Dengan keberagaman suku bangsa tersebut, penulis tertarik untuk meneliti salah satu suku bangsa di Provinsi Bengkulu yaitu suku bangsa Melayu, khususnya suku bangsa Melayu yang bermukim atau berdomisili di Kota Bengkulu. Kota Bengkulu memiliki empat jenis adat istiadat, namun dalam penelitian ini hanya difokuskan pada Adat Melayu terkait pelanggaran terkait perzinaahan dalam adat Melayu yang berlaku di Kota Bengkulu. Kota Bengkulu terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan dan 67 kelurahan, namun dalam penelitian ini dibatasi hanya mengambil pada wilayah Kampung Melayu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan penyelesaian pelanggaran adat yang berkaitan dengan perzinahan menurut adat Melayu Kota Bengkulu dan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bentuk sanksi pelanggaran adat yang berkaitan dengan perzinahan menurut adat Melayu Kota Bengkulu. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris dan pendekatan hukum empiris yaitu pendekatan nondoktrinal. Hasil penelitian mengenai penyelesaian pelanggaran adat yang berkaitan dengan perzinahan adat Melayu Kota Bengkulu adalah laporan dari warga, laporan kepada kepala desa, pemanggilan atau pemberitahuan pejabat adat, sidang adat, keputusan musyawarah pada dewan adat, dan pelaksanaan upacara adat. Bentuk sanksi pelanggaran adat yang berkaitan dengan pezinahan menurut adat Melayu Kota Bengkulu yaitu, pelaku pelanggaran adat meminta maaf kepada korban, keluarga korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya, membuat surat perjanjian yang bertujuan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan memberikan teguran kepada orang lain agar tidak terjadi pelanggaran yang sama, membayar denda adat, cuci kampung, menikahkan, dan diusir atau dibuang ke daerah lain. Kesimpulan dan saran dalam penelitian ini yaitu Pemerintah Daerah Kota Bengkulu diharapkan segera menetapkan peraturan daerah tentang adat, serta masing-masing desa diharapkan membuat peraturan adat atau perdes adat untuk wilayah desanya masing-masing.