Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan restorative justice bagi anak pelaku tindak pidana di Indonesia dan Kanada serta mengidentifikasi faktor yang menyebabkan perbedaan pendekatan di kedua negara. Isu hukum yang diangkat adalah sejauh mana efektivitas sistem restorative justice dalam melindungi hak anak serta hambatan yang dihadapi dalam implementasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan praktik peradilan di Indonesia dan Kanada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menerapkan restorative justice melalui mekanisme diversi sebagaimana diatur dalam UU SPPA, namun masih memiliki keterbatasan dalam implementasi akibat kurangnya pemahaman aparat hukum, stigma masyarakat, serta minimnya fasilitas rehabilitasi. Sementara itu, Kanada memiliki sistem yang lebih fleksibel dengan pendekatan progresif melalui Youth Criminal Justice Act, yang memberikan ruang lebih luas bagi rehabilitasi anak, bahkan dalam kasus yang lebih serius. Perbedaan utama dalam pendekatan kedua negara disebabkan oleh regulasi hukum, faktor budaya, serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya. This study aims to analyze the implementation of restorative justice for juvenile offenders in Indonesia and Canada, as well as identify factors contributing to differences in their approaches. The legal issue discussed is the effectiveness of restorative justice in protecting children's rights and the challenges faced in its implementation. This research employs a normative juridical approach by analyzing laws, policies, and judicial practices in Indonesia and Canada. The findings indicate that Indonesia applies restorative justice through diversion mechanisms as regulated in the Juvenile Criminal Justice System Law (UU SPPA), but its implementation is hindered by limited understanding among law enforcement officers, social stigma, and inadequate rehabilitation facilities. Meanwhile, Canada has a more flexible system with a progressive approach under the Youth Criminal Justice Act, allowing broader rehabilitation opportunities, even for more serious offenses. The primary differences between the two countries’ approaches are influenced by legal regulations, cultural factors, and the availability of infrastructure and resources.