Pembangunan Rumah Susun sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah dianggap sebagai alternatif yang solutif, namun tantangan muncul akibat kurangnya sistem pengelolaan yang efektif. Masalah sosial dan budaya seperti rendahnya toleransi antar penghuni, keterbatasan ruang komunal, dan kurangnya privasi karena jarak ruangan yang berdekatan, semuanya berkontribusi pada citra negatif rumah susun. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang timbul di rumah susun yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya terkait faktor-faktor sosial dan budaya, serta untuk menemukan dan menganalisis upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di salah satu hunian vertikal di Jakarta, Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung. Pengumpulan data diambil dari berbagai sumber seperti observasi dan dokumentasi dari buku, penelitian, dan artikel yang telah ada. Analisis pada objek studi kasus menggunakan prinsip-prinsip arsitektur sosial budaya dari ahli seperti Amos Rapoport, Jan Gehl, dan Wiliam John Mitchell. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola perilaku penghuni KSPT Cakung mirip dengan masyarakat di permukiman landed, namun karena keterbatasan dan tata letak ruang yang berbeda, beberapa fungsi ruang berubah, misalnya ruang tamu yang juga digunakan sebagai tempat usaha. Desain unit KSPT Cakung menyediakan beragam fasilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi, interaksi sosial, dan kegiatan komunitas yang dirancang untuk memfasilitasi interaksi antarwarga seperti di kampung horizontal. Dari delapan prinsip arsitektur sosial budaya yang ada, KSPT Cakung cukup memenuhi meskipun terdapat kekurangan seperti aksesibilitas berupa akses yang belum memadai, kurangnya fasilitas kesehatan dan kebugaran seperti taman bermain, serta kurangnya pemanfaatan ruang produktif.