This study aims to investigate the dynamics of contemporary Qur’anic exegesis through a comparative analysis of the intellectual contributions of Amīn al-Khūlī and Nashr Hamīd Abū Zayd, two reformist scholars who prioritize linguistic and literary methodologies in Qur’anic interpretation. The primary objective is to delineate the methodological convergences and divergences between these scholars, who share a mentor-mentee relationship. Employing a qualitative research design with a comparative framework, this study traces their conceptual developments as articulated in their principal works. The findings indicate that Amīn al-Khūlī, influenced by Western literary criticism, foregrounds literary devices in Qur’anic interpretation, emphasizing linguistic structures, rhetorical techniques, and literary composition. Conversely, Nashr Hamīd Abū Zayd adopts a more expansive hermeneutical approach that incorporates the social, cultural, and historical contexts of revelation, while also accentuating the significance of classical Arabic, metaphor, and symbolism in the transmission of divine messages. The study’s implications highlight the necessity of cultivating an interpretive methodology that is responsive to contemporary intellectual currents while remaining grounded in Islamic scholarly traditions, thereby contributing to the advancement of Qur’anic studies in the modern era.Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika tafsir Al-Qur’an kontemporer melalui perbandingan pemikiran Amīn al-Khūlī dan Nashr Hamīd AbūZayd, dua tokoh pembaharu yang menekankan pendekatan linguistik dan sastra dalam memahami Al-Qur’an. Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi persamaan dan perbedaan metodologis di antara keduanya yang memiliki hubungan intelektual guru dan murid. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan komparatif untuk menelusuri pemikiran kedua tokoh melalui karya-karya utama mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amīn al-Khūlī, yang terpengaruh oleh metode analisis sastra Barat, menekankan penggunaan perangkat sastra dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan fokus pada struktur bahasa, gaya retorika, dan komposisi sastra. Sebaliknya, Nashr Hamīd Abū Zayd menerapkan pendekatan hermeneutik yang lebih luas dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan historis masa pewahyuan, serta menyoroti peran bahasa Arab klasik, metafora, dan simbolisme dalam memahami pesan Ilahi. Implikasi dari studi ini menunjukkan pentingnya pengembangan metodologi tafsir yang adaptif terhadap dinamika keilmuan modern tanpa mengabaikan akar tradisi keislaman, sehingga dapat memperkaya khazanah studi tafsir di era kontemporer.