PHK yang dilakukan tanpa memperhatikan perspektif pekerja secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental. Mengamati peristiwa sosial, jelas bahwa mendapatkan pekerjaan tidak semudah yang terlihat bagi banyak pekerja. Persaingan yang semakin ketat, tenaga kerja yang terus berkembang, dan kondisi yang tidak stabil di lingkungan korporat telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kemungkinan pemecatan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan data sekunder yang mencakup bahan primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan penelitian meliputi perundang-undangan, konseptual, analitis, dan kasus, dengan teknik pengumpulan data melalui identifikasi dan inventarisasi aturan hukum serta literatur terkait. Analisis dilakukan dengan penafsiran gramatikal dan sistematis. Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam berbagai peraturan hukum, seperti Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021, yang memperbolehkan PHK dengan alasan kerugian perusahaan, namun tidak boleh dilakukan sembarangan. PHK hanya dapat dilakukan jika perusahaan mengalami kerugian selama dua tahun berturut-turut dan harus dibuktikan dengan laporan keuangan yang sah. Selain itu, perlindungan bagi pekerja diatur dalam Pasal 153 UU Ketenagakerjaan, yang melarang pemutusan hubungan kerja atas dasar tertentu, memastikan tindakan pengusaha tidak sewenang-wenang. PHK harus diakui oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan pekerja berhak atas kompensasi seperti pesangon, penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang pengganti (UPH) yang dihitung berdasarkan masa kerja dan alasan PHK.