Paputungan, Merdiansa
Faculty Of Law University Of Muhammadiyah Jakarta

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

UNIFIKASI HUKUM ACARA PENGUJIAN SELURUH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Paputungan, Merdiansa
Al-Qisth Law Review Vol 1, No 1 (2018): Al-Qisth Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractThe latest problems in the Laws and Regulations in Indonesia, is what is called the law of obesity. This is due to the formation of Indonesian law which only increases in terms of quantity, but not with quality. The number of regulations continues to increase, not followed by harmonization, both vertically and horizontally. Some people consider this due to the division of authority of judicial review on the Supreme Court and the Constitutional Court. This is also compounded by the non-uniform mechanism of the applicable procedural law. This paper aims to examine the problem of legal obesity, by making the procedural law mechanism between the Supreme Court and the Constitutional Court as the target of the study. AbstrakProblematika terkini dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, adalah apa yang disebut dengan istilah obesitas hukum. Hal ini disebabkan pembentukan hukum Indonesia yang hanya bertambah dari segi kuantitas, tapi tidak dengan kualitas. Jumlah regulasi yang terus bertambah, tidak diikuti dengan harmonisasi, baik secara vertical maupun horizontal. Sebagain kalangan menilai hal ini dikarenakan, terbaginya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini turut diperparah dengan tidak seragamnya mekanisme hukum acara yang berlaku. Tulisan ini hendak menelaah problematika obesitas hukum, dengan menjadikan mekanisme hukum acara di antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai sasaran kajian.
Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Melakukan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri Pasca Amandemen UUD 1945 Merdiansa Paputungan; Zainal Arifin Hoesein
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 2 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.739 KB) | DOI: 10.31078/jk1728

Abstract

Salah satu isu yang menjadi konteks empiris pada saat amandemen UUD 1945, adalah pinjaman luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini mendorong perubahan Pasal 11 UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan sebuah keharusan bagi Presiden untuk mendapatkan persetujuan DPR dalam membuat perjanjian pinjaman luar negeri. Akan tetapi dalam pengaturan kemudian, persetujuan DPR sebagai bentuk pembatasan kekuasaan Presiden di bidang diplomatik ini, justru direduksi menjadi persetujuan yang terbatas diberikan terhadap Undang-Undang APBN. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengurai berbagai permasalahan seputar persetujuan DPR sebagai bentuk pembatasan kekuasaan Presiden, dan pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan Pasca amandemen UUD 1945.
Kegiatan Organisasi Sayap Partai Politik yang Bertentangan dengan UUD 1945 sebagai Alasan Pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi Ibnu Sina Chandranegara; Merdiansa Paputungan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 1 (2020): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (562.563 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.117-136

Abstract

Tulisan ini hendak melakukan analisis yuridis terhadap hubungan antara Partai Politik dan Organisasi Sayap Parpol-nya (OSP). Hubungan dimaksud adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum apabila terjadi pelanggaran oleh organisasi sayap parpol khususnya dalam hal pembubaran partai politik. Tulisan ini difokuskan untuk menjawab dua pertanyaan, yakni: (1) Bagaimanakah hubungan antara partai politik dengan organisasi sayap partai politik?; (2) Apakah kegiatan OSP yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat dimaknai luas dan berdampak terhadap partai politik khususnya dalam sebagai alasan pembubaran partai politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui hubungan hukum dan pertanggung jawaban OSP terkait pembubaran partai politik. Penelitian ini mengambil kesimpulan, Pertama, hubungan hukum antara OSP dan Partai Politik adalah dalam satu entitas hukum (subyek hukum) yang sama. OSP merupakan organisasi bukan badan hukum yang berada di bawah (dalam struktur) dan milik Partai Politik. Kedua, bahwa kegiatan OSP yang bertentangan dengan UUD 1945 dapat menjadi alasan pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi. Sehingga ketika OSP melakukan pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 UU Partai Politik, maka mekanisme dan sanksi yang berlaku adalah sama dengan mekanisme penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47, 48, sampai dengan Pasal 49 UU Partai Politik.
DISKURSUS KEWENANGAN AUDIT BPK TERHADAP KEUANGAN BUMN (PERSEROAN) PASCA PUTUSAN MK NOMOR 62/PUU-XI/2013 Merdiansa Hamsa Paputungan
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 29, No 3 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.456 KB) | DOI: 10.22146/jmh.26884

Abstract

AbstractConstitutional Court Decision Number: 62 / PUU-XI / 2013, confirmed the duties and authority of the Indonesian Supreme Audit Institution (BPK) in examining the management and financial responsibilities of all that elements, including the state finance of company that separated on country / region as stated in Law No. 17 Year 2003 on State Finance. This research aimed to answer three problems: (1) Does the financial state separated in State Owned Enterprises (SOE) is a state finance ?; (2) How is the authority of BPK  to examine the management and responsibility of state assets set aside in the SOE after Constitutional Court Decision Number: 62 / PUU-XI / 2013 ? To answer these problems, the authors conducted a juridical-normative research involves studying legal materials in the form of Constitutional Court decisions and Laws and Regulatory Issues, and the theory of legal entities to sharpen the research results. IntisariPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 62/PUU-XI/2013 mengukuhkan tugas dan wewenang BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara termasuk yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah sebagaimana dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penelitian ini ingin menjawab tiga persoalan, (1) Apakah keuangan negara yang dipisahkan pada BUMN (Perseroan) merupakan keuangan negara?; (2) Bagaimana kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN (Perseroan) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 62/PUU-XI/2013? Untuk menjawab permasalah tersebut, penulis melakukan penelitian yuridis-normatif, yakni meneliti bahan hukum berupa Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan, serta  menggunakan teori badan hukum untuk mempertajam hasil penelitian. 
Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Melakukan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri Pasca Amandemen UUD 1945 Merdiansa Paputungan; Zainal Arifin Hoesein
Jurnal Konstitusi Vol 17, No 2 (2020)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.739 KB) | DOI: 10.31078/jk1728

Abstract

Salah satu isu yang menjadi konteks empiris pada saat amandemen UUD 1945, adalah pinjaman luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini mendorong perubahan Pasal 11 UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan sebuah keharusan bagi Presiden untuk mendapatkan persetujuan DPR dalam membuat perjanjian pinjaman luar negeri. Akan tetapi dalam pengaturan kemudian, persetujuan DPR sebagai bentuk pembatasan kekuasaan Presiden di bidang diplomatik ini, justru direduksi menjadi persetujuan yang terbatas diberikan terhadap Undang-Undang APBN. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengurai berbagai permasalahan seputar persetujuan DPR sebagai bentuk pembatasan kekuasaan Presiden, dan pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan Pasca amandemen UUD 1945.
FORMULASI KEDAULATAN RAKYAT ATAS ANGGARAN NEGARA DALAM UUD 1945 PASCA AMANDEMEN Paputungan, Merdiansa
Mimbar Hukum Vol 36 No 2 (2024): Mimbar Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mh.v36i2.10419

Abstract

Abstract This research stems from various criticisms of the results of the amendment to Article 23 of the 1945 Constitution, which basically views that the results of the amendment have degraded the philosophy of the state budget, namely the sovereignty of the people. This has led to the loss of budgetary rights held by the House of Representatives. Based on this criticism, this study tries to find other perspectives and approaches in reading the formulation of popular sovereignty over the state budget by asking two questions; First, whether the amendments to the 1945 Constitution have degraded the existence of the state budget from a philosophical point of view; Second, how is the formulation of popular sovereignty over the state budget in the post-amendment 1945 Constitution? The research concluded that the philosophy of the state budget after the amendment of the 1945 Constitution is the sovereignty of the people. The sovereignty of the people over the state budget is formulated in several articles, which can be divided into formulations in formal aspects and formulations in material aspects. Abstrak Penelitian ini bertolak dari berbagai kritik atas hasil perubahan Pasal 23 UUD NRI 1945, yang pada dasarnya memandang bahwa hasil perubahan telah mendegradasi filosofi anggaran negara, yaitu kedaulatan rakyat. Hal ini membawa konsekuensi pada hilangnya hak anggaran yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Atas kritik tersebut, penelitian ini mencoba mencari sudut pandang dan pendekatan lain dalam membaca formulasi kedaulatan rakyat atas anggaran negara dengan mengajukan dua pertanyaan; Pertama, apakah perubahan UUD 1945 telah mendegradasi keberadaan anggaran negara dari sudut filosofi?; Kedua, bagaimana formulasi kedaulatan rakyat atas anggaran negara dalam UUD 1945 pasca perubahan? Hasil penelitian menyimpulkan bahwa filosofi anggaran negara pasca perubahan UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat atas anggaran negara tersebut diformulasikan dalam beberapa pasal, yang dapat dibedakan menjadi formulasi dalam aspek formil dan formulasi dalam aspek materil.
Discourse on The Fulfillment of Human Rights in The Health Field Under BPJS Health Benefits Coordination Policy Cahyawati, Dwi Putri; Fadillah, Yusfira Rahma; Paputungan, Merdiansa; Burhanuddin, Nizam; Alijina, Erma Hari
Law and Justice Vol. 9 No. 2 (2024): Law and Justice
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/laj.v9i2.4399

Abstract

ABSTRAK Kehadiran koordinasi manfaat atau yang kerap disingkat COB, dimaksudkan sebagai skema yang memungkinkan setiap orang yang telah lebih dulu memiliki jaminan sosial sebelum kepesertaan BPJS kesehatan diwajibkan, untuk memiliki jaminan sosial lebih dari satu. Oleh karenanya, skema COB harus menjadi solusi bagi penguatan pemenuhan hak asasi dibidang kesehatan. Akan tetapi dalam pelaksanaan, skema COB justru tidak mencerminkan penguatan pemenuhan hak asasi di bidang kesehatan dalam paham negara kesejahteraan. Permasalahan inilah yang hendak diteliti dengan mengajukan rumusan masalah apakah implementasi skema Koordinasi Manfaat dapat memperkuat jaminan pemenuhan hak asasi warga negara di bidang kesehatan? Dan agaimanakah seharusnya skema Koordinasi Manfaat (Coordination Of Benefit) yang dapat memberikan jaminan pemenuhan hak asasi dibidang kesehatan yang semakin baik. Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa skema COB yang saat ini tersedia belum mampu menjadi jawaban bagi penguatan pemenuhan hak asasi dibidang kesehatan dalam paradigma negara kesejahteraan. Hal ini dikarenakan adanya keharusan mendahulukan penggunaan BPJS Kesehatan tanpa memberi ruang bagi pemilik jaminan sosial dalam memilih layanan kesehatan yang dapat akan digunakan. Oleh karena itu, skema COB kedepan harus diperbaiki dengan memperhatikan aspek penguatan hak dibidang Kesehatan, yang dalam UUD NRI 1945 diformulasikan sebagai hak asas manusia di satu sisi, dan kewajiban negara untuk menyediakan layanan dan fasilitas Kesehatan pada sisi yang lain.   ABSTRACT The presence of benefit coordination, or what is often abbreviated as COB, is intended as a scheme that allows everyone who already had social security before BPJS health participation was mandatory, to have more than one social security. Therefore, the COB scheme must be a solution to strengthen the fulfillment of human rights in the health sector. However, in implementation, the COB scheme does not reflect the strengthening of the fulfillment of human rights in the health sector within the welfare state understanding. This problem is what we want to examine by proposing a problem formulation: whether the implementation of the Benefits Coordination scheme can strengthen guarantees for the fulfillment of citizens' human rights in the health sector? And what should be the Coordination of Benefits scheme that can guarantee better fulfillment of human rights in the health sector? The research uses normative legal research methods. The results of the research conclude that the COB scheme currently available is not yet an answer to strengthening the fulfillment of human rights in the health sector within the welfare state paradigm. This is due to the need to prioritize the use of BPJS Health without providing space for social security owners in choosing which health services to use. Therefore, the COB scheme in the future must be improved by paying attention to aspects of strengthening rights in the health sector, which in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia are formulated as human rights on the one hand, and the state's obligation to provide health services and facilities on the other hand.    
MENYOAL PEMENUHAN PARTISIPASI MASYARAKAT YANG BERMAKNA DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG TENTANG IBU KOTA NEGARA Paputungan, Merdiansa; Bakhri, Syaiful
Al-Qisth Law Review Vol. 6 No. 2 (2023): AL-QISTH LAW REVIEW
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/al-qisth.6.2.274-300

Abstract

AbstrakPembentukan undang-undang Ibu Kota Negara yang hanya dibahas dalam waktu 42 hari, melahirkan pertanyaan mendasar tentang pemenuhan partisipasi masyarakat dalam pengertian yang sungguh-sungguh atau bermakna. Penelitian ini secara khusus hendak menelitian pemenuhan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang Ibu Kota Negara dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara tidak memenuhi aspek partisipasi masyarakat yang bermakna atau sungguh-sungguh, karena partisipasi hanya dilakukan secara formalitas, yakni sebatas memenuhi hak untuk didengar dan mengenyampingkan hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk diberi penjelasan.Kata Kunci: Pembentukan, Undang-Undang, Partisipasi Yang Bermakna, Ibu Kota Negara AbstractThe formation of the National Capital Law, which was only discussed within 42 days, raises fundamental questions about the fulfillment of public participation in a real or meaningful sense. This research specifically aims to examine the fulfillment of public participation in the formation of the National Capital Law by using normative juridical research methods. From the results of the research, it is found that the formation of the National Capital City Law does not fulfill the aspects of meaningful or serious public participation, because participation is only carried out in a formality, which is limited to fulfilling the right to be heard and excluding the right to be considered and the right to be given an explanation.Keywords: Formation, Law, Meaningful Participation, National Capital City