Hak asuh anak merupakan hak yang wajib diberikan kepada salah satu orang tua kandung setelah terjadinya perceraian dari keduanya. Yang tentunya hak tersebut sangatlah krusial bagi kehidupan sang anak, dikarenakan ini menentukan bagaimanakan dan bersama orang tua yang manakah sang anak akan tinggal. Oleh karena itu negara Indonesia telah membuat undang-undang yang mengatur masalah pemberian hak asuh anak tersebut, dimana jika anak tersebut belum berumur 12 tahun maka diharuskan jatuh ke anaknya sesuai yang tertera pada Kompilasi Hukum Islam, namun permasalahan masih terjadi ketika seorang ibu tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya seperti yang tertera pada putusan Nomor 685/Pdt.G/2022/PA.Lt, dimana sang ibu tidak bisa menjalankan tanggung jawabnya, hal ini dapat terjadi dikarenakan sang ibu menitipkan anak yang baru berusia delapan tahun tersebut ke neneknya pada saat sang ibu pergi untuk bekerja di beda pulau, dan sang ibu juga tidak dapat memberikan pengobatan ketika anaknya sedang sakit, dan dimana Majelis Hakim memutuskan untuk mencabut hak asuh anak tersebut dari sang ibu dan memberikannya kepada sang ayah. Hal ini tentunya menjadi suatu keadaan yang membingungkan mengingat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut dijelaskan kalau hak asuh anak yang belum berumur 12 tahun, haruslah diberikan kepada sang ayah bukan sang ibu. Penelitian ini menggunakan metode normatif melalui analisis peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, dan teori yang relevan. Hasil akhir dari penelitian menunjukkan kalau hak asuh anak memang dapat dicabut dari ibu dan dipindahkan ke ayah, dengan beberapa alasan yang berhubungan dengan kebaikan anak tersebut, seperti Sang ibu melakukan suatu perbuatan buruk kepada sang anak secara terbuka dan berlebihan. tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat serta memelihara anak tersebut. Penelitian ini memberikan kontribusi akademis dan praktis dalam memperkuat pemahaman terkait hak asuh anak, bagaimanakah hak asuh anak dapat diberikan, serta kendala-kendala dalam menerapkan hak asuh anak.