Pembangunan jalan Jantho-Lamno sepanjang 65 km yang membelah kawasan hutan lindung Ulu Masen bertujuan meningkatkan konektivitas dan perekonomian daerah. Namun, proyek ini memicu perambahan hutan, kerusakan ekosistem, dan peningkatan risiko banjir akibat hilangnya daya serap tanah dan terganggunya aliran air. Penelitian ini bertujuan menganalisis perlindungan hukum terhadap kawasan hutan lindung tersebut dalam tinjauan konsep milk al-daulah. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, dengan pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan terdiri dari pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh dan pihak terkait lainnya. Data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan dokumen resmi. Penelitian menunjukkan bahwa undang-undang seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah mengatur perlindungan wilayah hutan. Namun, tidak ada pengawasan yang memadai menyebabkan hutan dialihgunakan untuk perkebunan ilegal. Melalui budidaya tanaman MPTS dan lebah Trigona, DLHK membantu orang bersosialisasi, memfasilitasi izin perhutanan sosial, dan membangun KUPS. Menurut perspektif Islam, hutan lindung merupakan aset negara, atau milk al-daulah, yang harus dikelola untuk kemaslahatan umum. Prinsip ini menekankan bahwa semua orang harus bertanggung jawab satu sama lain untuk menjaga kelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Perlindungan wilayah hutan di jalan Jantho-Lamno membutuhkan kolaborasi antara hukum nasional dan prinsip Islam dalam pengelolaan aset publik. Untuk memastikan keberlanjutan lingkungan, pengawasan dan pemberdayaan masyarakat berbasis hukum dan prinsip religius diperlukan.