Pengaturan jaminan fidusia di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 memberikan hak eksekusi kepada kreditur. Akan tetapi, eksekusi sering kali dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan debitur sehingga menimbulkan permasalahan hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa eksekusi hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama atau melalui pengadilan untuk melindungi hak debitur dan mencegah penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, pelaksanaan putusan ini masih menghadapi berbagai kendala, seperti rendahnya kepatuhan kreditur dan terbatasnya pemahaman hukum, sehingga diperlukan kajian yang mendalam untuk menjamin perlindungan hak debitur dan kepastian hukum bagi kreditur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum dan teori fidusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setelah data dianalisis secara gramatikal dan sistematis, langkah selanjutnya adalah mengolah data secara deskriptif dengan cara mengorganisasikan dan menganalisisnya secara sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekusi jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dapat dilakukan melalui titel eksekutorial, penjualan agunan, atau penjualan di bawah tangan berdasarkan perjanjian. Namun, tidak adanya sanksi bagi kreditor yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sering kali mengakibatkan eksekusi sepihak tanpa dasar hukum, merugikan debitur, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa eksekusi hanya dapat dilakukan melalui pengadilan kecuali debitur secara sukarela menyerahkan agunan berdasarkan perjanjian sebelumnya.