This study aims to explore students' perceptions and experiences regarding online sexual violence (OSV) at Harapan Mandiri Senior High School in Medan. Employing a qualitative approach with in-depth interviews, the research involved six students and two teachers as key informants. The findings reveal that while most students are familiar with the term OSV, their understanding remains limited and largely shaped by personal experiences or peer observations. Social media platforms such as Instagram, WhatsApp, and TikTok are identified as the most vulnerable spaces for OSV, including inappropriate messages, requests for sexual content, and the non-consensual distribution of images. Although the school has implemented preventive efforts such as seminars and counseling services, students perceive these measures as inconsistent and lacking in depth. Fear of blame, social stigma, and the absence of secure reporting mechanisms have discouraged students from speaking up. This study underscores the need for a comprehensive strategy that includes continuous digital literacy education, psychosocial support, and strengthened communication among students, teachers, and parents. The research offers empirical insights into the realities of OSV among high school students and highlights the urgent need for schools to take a more active and context-sensitive role in protecting students in digital environments.AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap persepsi dan pengalaman siswa terkait kekerasan seksual daring di SMA Harapan Mandiri Medan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik wawancara mendalam, penelitian ini melibatkan enam siswa dan dua guru sebagai informan utama. Hasil temuan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa telah mengenal istilah kekerasan seksual daring, namun pemahaman tersebut masih bersifat terbatas dan banyak diperoleh melalui pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap lingkungan sekitar. Media sosial seperti Instagram, WhatsApp, dan TikTok diidentifikasi sebagai platform yang paling rentan terhadap perilaku kekerasan seksual daring, termasuk pesan yang tidak pantas, permintaan konten seksual, dan penyebaran gambar tanpa persetujuan. Meskipun sekolah telah melakukan upaya preventif melalui seminar dan layanan konseling, siswa menilai pendekatan tersebut belum konsisten dan belum menyentuh akar persoalan. Rasa takut disalahkan, stigma sosial, dan minimnya mekanisme pelaporan yang aman membuat banyak siswa enggan melapor. Penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan menyeluruh yang mencakup pendidikan digital berkelanjutan, dukungan psikososial, serta penguatan komunikasi antara siswa, guru, dan orang tua. Penelitian ini memberikan gambaran empiris mengenai dinamika kekerasan seksual daring di kalangan pelajar serta menunjukkan perlunya peran aktif sekolah dalam membangun sistem perlindungan yang lebih relevan dan kontekstual dengan kehidupan digital siswa.