The phenomenon of psychological trauma revealed through language is an important issue in modern psycholinguistic studies. Language not only serves as a means of communication, but also as a container of inner expression that reflects emotional wounds and the process of self-healing. This research is motivated by the phenomenon of Farel Prayoga's speech in the podcast Curhat Bang Denny Sumargo, which shows typical linguistic symptoms of trauma such as interrupted speech, euphemisms, and changes in intonation and facial expressions. This case shows how traumatic experiences can affect language systems and become a form of unconventional emotional communication. This study aims to describe the forms of trauma language that appear in Farel Prayoga's speech, analyze its relationship with the speaker's psychological condition, and interpret the role of language as a means of self-reconstruction and trauma recovery. The method used is qualitative descriptive with a narrative psycholinguistic approach, using Cathy Caruth's narrative trauma theory as an analytical framework. Data were collected through Miles and Huberman's observation, transcription, and interactive analysis, taking into account verbal (sentence structure, word choice, prosody) and nonverbal (facial expressions, gestures, intonation) aspects. The results of the study showed that trauma is manifested through fragmentary linguistic patterns, word repetition, and procedural irregularities that indicate emotional burden. The choice of euphemisms and long pauses becomes a self-defense mechanism, while body gestures and facial expressions reinforce indications of trauma that have not been fully integrated in consciousness. Language in this context not only represents wounds, but also becomes a therapeutic space (healing discourse) in which individuals try to rearrange the meaning of their lives. Theoretically, this research expands the study of psycholinguistics by integrating the concept of narrative trauma in the context of digital communication. Practically, these findings have implications for the development of narrative therapy, language education, and emotional literacy in society. In conclusion, language is not just a cognitive action, but a therapeutic process that allows humans to face, process, and heal trauma through the power of speech. ABSTRAK Fenomena trauma psikologis yang diungkap melalui bahasa menjadi isu penting dalam kajian psikolinguistik modern. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai wadah ekspresi batin yang mencerminkan luka emosional dan proses penyembuhan diri. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena tuturan Farel Prayoga dalam podcast Curhat Bang Denny Sumargo, yang memperlihatkan gejala linguistik khas trauma seperti tuturan terputus, eufemisme, serta perubahan intonasi dan ekspresi wajah. Kasus ini menunjukkan bagaimana pengalaman traumatik dapat memengaruhi sistem bahasa dan menjadi bentuk komunikasi emosional nonkonvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa trauma yang muncul dalam tuturan Farel Prayoga, menganalisis kaitannya dengan kondisi psikologis penutur, serta menafsirkan peran bahasa sebagai sarana rekonstruksi diri dan pemulihan trauma. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan psikolinguistik naratif, menggunakan teori trauma naratif Cathy Caruth sebagai kerangka analisis. Data dikumpulkan melalui observasi, transkripsi, dan analisis interaktif Miles dan Huberman, dengan mempertimbangkan aspek verbal (struktur kalimat, pilihan kata, prosodi) dan nonverbal (mimik wajah, gestur, intonasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa trauma terwujud melalui pola linguistik yang fragmentaris, pengulangan kata, serta ketidakteraturan prosodi yang menandakan beban emosional. Pilihan eufemisme dan jeda panjang menjadi mekanisme pertahanan diri, sementara gestur tubuh dan ekspresi wajah memperkuat indikasi trauma yang belum terintegrasi secara utuh dalam kesadaran. Bahasa dalam konteks ini tidak hanya merepresentasikan luka, tetapi juga menjadi ruang terapeutik (healing discourse) di mana individu berusaha menata kembali makna hidupnya. Secara teori, penelitian ini memperluas kajian psikolinguistik dengan mengintegrasikan konsep trauma naratif dalam konteks komunikasi digital. Secara praktis, temuan ini memberikan implikasi bagi pengembangan terapi naratif, pendidikan bahasa, dan literasi emosional di masyarakat. Kesimpulannya, berbahasa bukan sekadar tindakan kognitif, melainkan proses terapeutik yang memungkinkan manusia menghadapi, mengolah, dan menyembuhkan trauma melalui kekuatan tutur.