Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pada Januari 2025 bertujuan meningkatkan status gizi dan semangat belajar peserta didik di seluruh Indonesia. Namun pelaksanaannya menuai pro dan kontra, termasuk adanya laporan kasus keracunan serta dugaan makanan tidak layak konsumsi. Studi kualitatif ini menganalisis polemik MBG khususnya di Bulukumba, Sulawesi Selatan, melalui tinjauan literatur, berita lokal maupun nasional, serta dokumen resmi. Metode analisis isi diterapkan pada sumber berita lokal seperti Fajar, Radar Selatan, dan Jawapos, serta pernyataan pemerintah daerah dan Badan Gizi Nasional. Temuan menunjukkan bahwa di Bulukumba sempat muncul insiden paket MBG dianggap basi di SMPN 2 Bulukumba, yang memicu penolakan siswa dan penangguhan sementara. Pemerintah kabupaten kemudian memperketat pengawasan kualitas makanan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi setempat. Persepsi publik beragam: sebagian khawatir atas mutu makanan, sementara sebagian lain mengapresiasi perhatian negara terhadap gizi. Dari sisi operasional, kendala logistik, kontrol mutu pemasok lokal, dan minimnya regulasi melalui peraturan presiden menambah kompleksitas pelaksanaan program. Artikel ini mengaitkan persoalan tersebut dengan konsep keadilan sosial menurut teori Rawls, nilai-nilai Pancasila, serta kerangka inklusif Amartya Sen yang menekankan pemerataan akses gizi dan pendidikan. Kesimpulannya, Bulukumba perlu menguatkan pengawasan program, melibatkan komunitas lokal seperti inisiatif “Bapak Asuh Stunting”, serta mereplikasi praktik baik nasional melalui kolaborasi lintas sektor. Rekomendasi kebijakan mencakup audit program MBG, penguatan kapasitas dinas terkait, dan pengesahan payung hukum formal agar manfaat gizi dan sosial MBG dapat dirasakan secara optimal dan merata di Bulukumba maupun tingkat nasional.