Praktik manipulasi tulang atau terapi tulang secara tradisional telah lama dikenal di Indonesia, dengan berbagai bentuk dan metode yang berkembang di masyarakat. Namun, beberapa tahun terakhir, muncul fenomena "kretek tulang abal-abal" yang menimbulkan kekhawatiran publik terkait keselamatan dan legalitas praktik tersebut. Studi ini bertujuan untuk meninjau kerangka regulasi dan pengawasan yang mengatur praktik manipulasi tulang di Indonesia, dengan fokus pada praktik tidak resmi yang dilakukan oleh individu tanpa kualifikasi medis atau terapeutik yang diakui. Melalui telaah pustaka terhadap peraturan perundang-undangan nasional dan pendekatan hukum kesehatan, ditemukan bahwa belum terdapat regulasi yang secara spesifik mengatur batasan dan kompetensi pelaku terapi tulang non-medis. Ketiadaan standardisasi, sertifikasi, dan pengawasan yang ketat membuka ruang bagi praktik-praktik yang berpotensi membahayakan, terutama bila dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki pelatihan profesional. Selain itu, posisi terapi alternatif dan komplementer dalam sistem pelayanan kesehatan nasional masih berada dalam wilayah abu-abu, sehingga sulit bagi otoritas untuk secara tegas menindak pelaku "kretek tulang abal-abal". Studi ini menegaskan pentingnya pembaruan kebijakan yang mengatur praktik manipulasi tulang secara komprehensif, termasuk penetapan standar pendidikan, sertifikasi, serta mekanisme pengawasan berbasis hukum. Penguatan regulasi ini diharapkan mampu melindungi masyarakat dari risiko cedera serta memastikan hanya praktisi yang kompeten yang dapat memberikan layanan terapi tulang.