Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberlakukan aturan yang melarang aktivitas berdagang di atas trotoar sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan ketertiban umum, kenyamanan pejalan kaki, dan keindahan kota. Kebijakan ini secara hukum sah, karena didasarkan pada Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum. Namun, dalam praktiknya, penerapan aturan tersebut menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, terutama terhadap para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini menggantungkan mata pencaharian mereka dari berdagang di trotoar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak dari kebijakan penertiban tersebut terhadap kehidupan PKL, baik dari sisi pendapatan, keberlangsungan usaha, maupun kondisi sosial keluarga mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan studi kasus di beberapa wilayah di Jakarta yang menjadi pusat penertiban. Data diperoleh melalui wawancara dengan para pedagang, observasi langsung di lapangan, serta kajian terhadap kebijakan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pedagang mengalami kehilangan mata pencaharian, tekanan ekonomi, hingga konflik sosial sebagai akibat dari penerapan aturan tersebut. Mereka tidak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi juga menghadapi kesulitan dalam mencari lokasi usaha yang baru dan layak. Di sisi lain, penertiban dilakukan tanpa adanya solusi alternatif yang konkret, seperti tempat relokasi yang memadai atau bantuan usaha dari pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun aturan ini ditujukan untuk menciptakan ketertiban kota, pelaksanaannya masih kurang mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, kebijakan penertiban seharusnya disertai dengan pendekatan yang lebih humanis dan solutif agar tidak menimbulkan korban dari kelompok masyarakat kecil yang rentan, khususnya para PKL.